CERPEN

Selasa, 29 November 2011

Cerpen "Tangisan, Fikri untuk Ibu!"


Namanya Fikri, dulu dia pernah bersahabat dengan bangku sekolah dasar. Namun, beban ekonomi keluarga yang hidup pas-pasan membuatnya terpaksa  menghentikan cita-citannya. Ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, kata orang ayahnya sudah menikah lagi di Malaysia. Sedangkan ibunya harus bergelut dengan dengan tumpukan sampah untuk mengisi perut. Hampir setiap hari fikri bersahabat dengan bau busuk dan tanah yang  becek. Nyanyian lalat-lalat sudah menjadi hal yang biasa. Setiap hari beban dua puluh kilo memenuhi keranjangnya. 

Gancu di tangan kanan, handuk melingkar di leher, dan kain usang menutupi separuh wajahnya. Fikri membalik satu per satu sampah-sampah bersama beberapa orang pemulung lainnya. Setiap hari ia menghasilkan sekitar lima belas ribu rupiah dari hasil keringatnya. Tak pernah terlintas untuk makan-makan mewah seperti para saudagar. Tak juga terlintas dari didikan orang tuannya untuk menjadi seorang peminta-minta. Urat-urat kasar bersama kulit yang kian melegam menghapus cita-citanya menjadi orang kaya. 

Satu tempat yang menjadi sahabat dan rumahnya adalah bangkai bus bekas tabrakan yang berada di sekitar tumpukan sampah. Fikri dan ibunya sering melepas lelah melewatkan matahari yang begitu ganas menerjangnya. Hujan badai yang membuat ulat-ulat sampah menari-nari di kaki kumuh itu. Tak sempat hidung menghirup wewangian, rasa pengap, sesak nafas, dan suara batuk ibunyalah yang sering ia dengar.
Fikri menyandarkan badannya di pintu bus yang karatan itu. Ia meluhat para pemulung tak kenal lelah mengorek-ngorek sampah. Adapula di antara mereka yang bertengkar karena lahannya diambil orang lain. Tidak jarang terjadi perkelahian di sana. Siapa yang berkuasa, dialah yang akan merauk hasil lebih. 

“Bu! Fikri ingin jadi orang pintar!”  ujarnya sedih.

Ibu menatap fikri yang sedang melamun dan memberikan senyum lasu. Tak sanggup mulut berbicara lagi, ibu memisahkan sampah-sampah sesuai dengan jenis sampahnya. Terpancar ketidakberdayaan dari wajah ibu yang terus beraktivitas. Doa-doa tertancap dalam dan terasa bosan untuk diungkapkan lagi. Bertahun-tahun semua masih saja seperti sedia kala. Hanya tangisan tanpa air mata yang menjawab doa-doa itu. 

Fikri memejamkan matanya, wajahnya tersenyum manis bersama tiupan angin sepoi-sepoi. Sebuah mobil mewah mengatarnya ke sebuah sekolah. Ia melihat ibunya yang tampak rapi dan berkerudung penuh cahaya. Fikri mencium tangannya dan berlari menuju sekolah itu. Di sana ia melihat seorang guru sedang mengajarkan materi pelajaran.

“Ayo! Siapa di antara kalian yang punya cita-cita menjadi seorang dokter?”  Guru bahasa Indonesia mengajukan pertanyaan.

Semua murid-murid berebutan mengankat tangan mewakili cita-citanya. Fikri berdiri di atas bangkunya dan terus berteriak mencari perhatian gurunya.

“Pak! Pak! Pak! Saya mau jawab! Saya mau jadi dokter!”  Fikri terus berteriak.

“Ha! Fikri!!! Kenapa kamu mau jadi dokter?” Guru menanggapi fikri.

“Fikri mau bantu orang yang di kampung! Pak!”  jawab Fikri.

“Nah!! Itu ide cemerlang Nak! Bapak senang sekali kamu mempunyai pikiran yang amat mulia seperti itu!”  tanggap guru.

Kebahagiaan terlintas dari wajah Fikri. Ia menceritakan cita-citanya di hadapan teman sekelasnya dengan penuh rasa kagum. Rentetan mimpi menjadikannya dewasa dan berjubah seorang dokter. Rasa dendam akan kebutuhan ekonomi menjelma lagi dalam khayalannya. Kemarahannya mencuak setelah membayangkan sikap para tetangga yang mengucilkan mereka sebagai orang kecil. 

“Fik! Ayo !!!”  Ibu menyentuh bahunya.

Fikri terkejut dengan sentuhan yang membangunkan tidurnya. Kembali terhirup bau sampah yang kian merusak jaringan pernafasan. Jantungnya yang berdetak kencan memaksa matanya untuk menatap kosong pada tumpukan sampah itu. Ia marah pada cita-citanya, ia marah karena semua hanya berlangsung dalam mimpinya. 

Pernah suatu ketika Fikri tidak ikut ibu untuk mulung di TPS.  Ia sering melintasi Sekolah Dasar yang pernah ia duduki beberapa tahun silam. Keceriaan siswa sekolah dasar dengan seragam yang baru membuat hatinya penuh dengan keirian. Satu hal yang membuat Fikri sangat tertekan adalah ketika orang-orang menghindarinya karena dia hanya anak seorang pemulung. Mereka bilang Fikri anak yang jorok dan bau. Mereka takut Fikri adalah anak yang penuh dengan kumal.

Ada satu kebiasaan yang mewakili semangatnya menjadi seorang jenius. Fikri selalu mengumpulkan koran-koran dan terus belajar membaca. Walaupun terkadang ia harus bertanya pada penjual cendol di sekolah itu. Tanpa rasa sombong si penjual cendol menjadi guru membacanya setiap hari. Penjual cendol itu meminta Fikri untuk membeli buku-buku pelajaran untuk dibaca. 

“Kalau mau pintar itu kita mau belajar buka mau ke sekolah! Sekarang kamu beli buku pelajaran! Kamu pelajari semuanya sambil mengumpulkan uang untuk daftar sekolah lagi!”  nasihat penjual cendol.

“Iya bang! Bantu Fikri yah! Fikri mau jadi orang pintar biar bisa beli obat untuk Mama!”  dengan polos.

Setiap hari saat Fikri istirahat mengumpulkan sampah, Fikri sempatkan untuk menemui penjual cendol itu untuk belajar membaca. Hari demi hari semangat Fikri menjadi orang pintar tampak ketika ia sudah bisa membaca dan menulis.  Sesuai arahan si penjual cendol, ia menulis sebuah novel yang mengisahkan kehidupan ekonomi dan cita-citanya yang terkandas. 

Dua bulan berlalu, Fikri menemui si penjual cendol. Ia membawa tumpukan kertas bekas yang berisi novel buatannya. Si penjual cendol hanya tersenyum mengejek padanya. Tumpukan catatan itu tak dihiraukan oleh si penjual cendol. 

“Bang! Bacalah! Fikri mau jadi penulis biar dapat uang untuk beli obat!”  sambil menarik-narik baju si penjual cendol.

“Abang nda suka baca-baca! Abang sibuk! Lain kalilah yah!” kata si penjual cendol.

Fikri tak bisa memaksakan kehendaknya. Kemarahan meluap dari wajahnya yang mengeram masam. Ia menghempaskan kumpulan catatan yang ia ciptakan selama berbulan-bulan itu. Fikri berlari kencang melintasi pasar sambil menangis. Langkah kakinya berhenti di bangkai bus tempatnya mendapatkan banyak inspirasi ketika ia sedang gudah.

semua manusia sama saja! Tukang cendol, tetangga, semua orang sama saja! Tidak ada yang mau menghargai usahaku! Katanya aku harus pintar membaca dan menulis! Tapi, tulisanku malah ditertawakan! “  sewot Fikri sambil menyandarkan badannya.

“Fikri!!! Fikri!!!”  teriak seorang pria dari kejauhan.

Fikri mencoba menyimak dan mencari orang yang memangil-manggil namanya. Tidak salah lagi  tebakan hatinya, itu kakek Ramlan tetangganya. Ia pun bergegas menemui kakek tua itu. 

“Kamu harus segera pulang, Nak! Ibumu sakit!”  dengan terengah-engah.

Bulu kuduk Fikri berdiri garang dengan rasa was-was. Langkah seribu membawanya berlari sekencang-kencangnya. Dalam hatinya terngiang wajah ibu tercinta, kasih sayang, dan perhatian ibunya. Sesampainnya di rumah Fikri terkejut melihat orang-orang telah ramai di halaman rumah mungilnya. Tangisan mendera matanya dalam debaran jantung yang kehilangan. 

“Nak! Ibumu sudah tiada!”  seorang ustad menahannya dengan nasehat.

Fikri berontak, ia berlari mendekati ibunya yang telah terbujur kaku. Ia memeluk ibunya, menciumi kening dan mengusap pipi ibunya yang pucat. Badan yang dingin membuat Fikri histeris dan merasa kehilangan semua yang ia miliki selama ini. 

“Mak! Bangun, Mak! Ini Fikri Mak! Fikri udah belajar mak! Fikri mau jadi orang pintar! Fikri janji belikan obat untuk, Mak! Banguuuuuu, Mak!”  histerisnya.

Suara-suara orang mendoakan ibunya membuat Fikri semakin tertekan. Ia tetap tidak terima ibu kesayangannya sudah tiada. Bayangan tentang kesendirian di hari esok membuatnya sangat tidak berdaya. Fikri terus histeris sampai terbaring tak berdaya di samping jenazah ibunya. 

Empat jam berlalu, orang-orang membawa jenazah ibunya untuk di makamkan. Fikri terus mengikuti hingga sebuah lubang mengakhiri pandangan Fikri. Wajahnya murung dan terus memeluk batu nisan. Ia teringat akan suapan-suapan kasih sayang dari ibunya, nyanyian serta pelukan hangat saat tidur. Fikri teringat akan kerannya betis ibu yang bekerja keras membesarkannya. 

“Mak! Mak! Bangun mak! Emak pulang! Temankan Fikri di rumah, Mak! Fikri nda bisa sendiri. Fikri takut, Mak!”  ucap Fikri berulang-ulang.

Tepukan telapak tangan menimpa bahunya. Seorang pria berambut gondrong bertopi duduk mendekatinya. Fikri tak pernah bertemu dengan sosok pria yang tersenyum merangkulnya erat. Pria itu memberikan nasehat padanya hingga ia merasa kuat.

“Kamu lihat ini?”  pria itu menunjukan kantong plastik.

“semua ini mahal hargannya, Nak! Ini tulisan termahal yang pernah saya temukan!”  ia menunjukan tulisan Fikri yang sudah ia buang.

“Ambil saja semuannya, Om! Fikri sudah tidak perlu itu lagi! Fikri hanya perlu Emak!”  sambil melelehkan airmata.

“Om akan terbitkan catatanmu, Nak! Mulai hari ini, kamu tinggal di rumah om”  lanjut pria gondrong itu.

Fikri tak sanggup menolak ajakan itu. Sambil menoleh dan enggan meninggalkan makam Fikri mengikuti pria itu. Setelah enam bulan berlalu, sebuah buku berisi catatan Fikri terjual. Fikri diangkat menjad anak oleh pria yang ternyata adalah penulis buku di salah satu penerbit besar.

(CERPEN DI WARUNG KOPI INDOR PONTIANAK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar