Namanya
Fikri, dulu dia pernah bersahabat dengan bangku sekolah dasar. Namun, beban
ekonomi keluarga yang hidup pas-pasan membuatnya terpaksa menghentikan cita-citannya. Ayahnya sudah
lama meninggalkan mereka, kata orang ayahnya sudah menikah lagi di Malaysia.
Sedangkan ibunya harus bergelut dengan dengan tumpukan sampah untuk mengisi
perut. Hampir setiap hari fikri bersahabat dengan bau busuk dan tanah yang becek. Nyanyian lalat-lalat sudah menjadi hal
yang biasa. Setiap hari beban dua puluh kilo memenuhi keranjangnya.
Gancu
di tangan kanan, handuk melingkar di leher, dan kain usang menutupi separuh
wajahnya. Fikri membalik satu per satu sampah-sampah bersama beberapa orang
pemulung lainnya. Setiap hari ia menghasilkan sekitar lima belas ribu rupiah
dari hasil keringatnya. Tak pernah terlintas untuk makan-makan mewah seperti
para saudagar. Tak juga terlintas dari didikan orang tuannya untuk menjadi
seorang peminta-minta. Urat-urat kasar bersama kulit yang kian melegam
menghapus cita-citanya menjadi orang kaya.
Satu
tempat yang menjadi sahabat dan rumahnya adalah bangkai bus bekas tabrakan yang
berada di sekitar tumpukan sampah. Fikri dan ibunya sering melepas lelah
melewatkan matahari yang begitu ganas menerjangnya. Hujan badai yang membuat
ulat-ulat sampah menari-nari di kaki kumuh itu. Tak sempat hidung menghirup
wewangian, rasa pengap, sesak nafas, dan suara batuk ibunyalah yang sering ia
dengar.
Fikri
menyandarkan badannya di pintu bus yang karatan itu. Ia meluhat para pemulung
tak kenal lelah mengorek-ngorek sampah. Adapula di antara mereka yang
bertengkar karena lahannya diambil orang lain. Tidak jarang terjadi perkelahian
di sana. Siapa yang berkuasa, dialah yang akan merauk hasil lebih.
“Bu! Fikri ingin jadi orang
pintar!” ujarnya
sedih.
Ibu
menatap fikri yang sedang melamun dan memberikan senyum lasu. Tak sanggup mulut
berbicara lagi, ibu memisahkan sampah-sampah sesuai dengan jenis sampahnya.
Terpancar ketidakberdayaan dari wajah ibu yang terus beraktivitas. Doa-doa
tertancap dalam dan terasa bosan untuk diungkapkan lagi. Bertahun-tahun semua
masih saja seperti sedia kala. Hanya tangisan tanpa air mata yang menjawab
doa-doa itu.
Fikri
memejamkan matanya, wajahnya tersenyum manis bersama tiupan angin sepoi-sepoi.
Sebuah mobil mewah mengatarnya ke sebuah sekolah. Ia melihat ibunya yang tampak
rapi dan berkerudung penuh cahaya. Fikri mencium tangannya dan berlari menuju
sekolah itu. Di sana ia melihat seorang guru sedang mengajarkan materi
pelajaran.
“Ayo! Siapa di antara kalian yang
punya cita-cita menjadi seorang dokter?” Guru bahasa Indonesia mengajukan pertanyaan.
Semua
murid-murid berebutan mengankat tangan mewakili cita-citanya. Fikri berdiri di
atas bangkunya dan terus berteriak mencari perhatian gurunya.
“Pak! Pak! Pak! Saya mau jawab!
Saya mau jadi dokter!” Fikri terus berteriak.
“Ha! Fikri!!! Kenapa kamu mau jadi
dokter?” Guru menanggapi fikri.
“Fikri mau bantu orang yang di
kampung! Pak!” jawab Fikri.
“Nah!! Itu ide cemerlang Nak! Bapak
senang sekali kamu mempunyai pikiran yang amat mulia seperti itu!” tanggap guru.
Kebahagiaan
terlintas dari wajah Fikri. Ia menceritakan cita-citanya di hadapan teman
sekelasnya dengan penuh rasa kagum. Rentetan mimpi menjadikannya dewasa dan
berjubah seorang dokter. Rasa dendam akan kebutuhan ekonomi menjelma lagi dalam
khayalannya. Kemarahannya mencuak setelah membayangkan sikap para tetangga yang
mengucilkan mereka sebagai orang kecil.
“Fik! Ayo !!!” Ibu menyentuh bahunya.
Fikri
terkejut dengan sentuhan yang membangunkan tidurnya. Kembali terhirup bau
sampah yang kian merusak jaringan pernafasan. Jantungnya yang berdetak kencan
memaksa matanya untuk menatap kosong pada tumpukan sampah itu. Ia marah pada
cita-citanya, ia marah karena semua hanya berlangsung dalam mimpinya.
Pernah
suatu ketika Fikri tidak ikut ibu untuk mulung di TPS. Ia sering melintasi Sekolah Dasar yang pernah
ia duduki beberapa tahun silam. Keceriaan siswa sekolah dasar dengan seragam
yang baru membuat hatinya penuh dengan keirian. Satu hal yang membuat Fikri
sangat tertekan adalah ketika orang-orang menghindarinya karena dia hanya anak
seorang pemulung. Mereka bilang Fikri anak yang jorok dan bau. Mereka takut
Fikri adalah anak yang penuh dengan kumal.
Ada
satu kebiasaan yang mewakili semangatnya menjadi seorang jenius. Fikri selalu
mengumpulkan koran-koran dan terus belajar membaca. Walaupun terkadang ia harus
bertanya pada penjual cendol di sekolah itu. Tanpa rasa sombong si penjual
cendol menjadi guru membacanya setiap hari. Penjual cendol itu meminta Fikri
untuk membeli buku-buku pelajaran untuk dibaca.
“Kalau mau pintar itu kita mau
belajar buka mau ke sekolah! Sekarang kamu beli buku pelajaran! Kamu pelajari
semuanya sambil mengumpulkan uang untuk daftar sekolah lagi!” nasihat penjual cendol.
“Iya bang! Bantu Fikri yah! Fikri
mau jadi orang pintar biar bisa beli obat untuk Mama!” dengan polos.
Setiap
hari saat Fikri istirahat mengumpulkan sampah, Fikri sempatkan untuk menemui
penjual cendol itu untuk belajar membaca. Hari demi hari semangat Fikri menjadi
orang pintar tampak ketika ia sudah bisa membaca dan menulis. Sesuai arahan si penjual cendol, ia menulis
sebuah novel yang mengisahkan kehidupan ekonomi dan cita-citanya yang
terkandas.
Dua
bulan berlalu, Fikri menemui si penjual cendol. Ia membawa tumpukan kertas
bekas yang berisi novel buatannya. Si penjual cendol hanya tersenyum mengejek
padanya. Tumpukan catatan itu tak dihiraukan oleh si penjual cendol.
“Bang! Bacalah! Fikri mau jadi
penulis biar dapat uang untuk beli obat!” sambil menarik-narik baju si penjual cendol.
“Abang nda suka baca-baca! Abang sibuk!
Lain kalilah yah!” kata si penjual cendol.
Fikri
tak bisa memaksakan kehendaknya. Kemarahan meluap dari wajahnya yang mengeram
masam. Ia menghempaskan kumpulan catatan yang ia ciptakan selama berbulan-bulan
itu. Fikri berlari kencang melintasi pasar sambil menangis. Langkah kakinya
berhenti di bangkai bus tempatnya mendapatkan banyak inspirasi ketika ia sedang
gudah.
“semua manusia sama saja! Tukang cendol,
tetangga, semua orang sama saja! Tidak ada yang mau menghargai usahaku! Katanya
aku harus pintar membaca dan menulis! Tapi, tulisanku malah ditertawakan! “ sewot Fikri sambil menyandarkan badannya.
“Fikri!!! Fikri!!!” teriak seorang pria dari kejauhan.
Fikri
mencoba menyimak dan mencari orang yang memangil-manggil namanya. Tidak salah
lagi tebakan hatinya, itu kakek Ramlan
tetangganya. Ia pun bergegas menemui kakek tua itu.
“Kamu harus segera pulang, Nak!
Ibumu sakit!” dengan terengah-engah.
Bulu
kuduk Fikri berdiri garang dengan rasa was-was. Langkah seribu membawanya
berlari sekencang-kencangnya. Dalam hatinya terngiang wajah ibu tercinta, kasih
sayang, dan perhatian ibunya. Sesampainnya di rumah Fikri terkejut melihat
orang-orang telah ramai di halaman rumah mungilnya. Tangisan mendera matanya
dalam debaran jantung yang kehilangan.
“Nak! Ibumu sudah tiada!” seorang ustad menahannya dengan nasehat.
Fikri
berontak, ia berlari mendekati ibunya yang telah terbujur kaku. Ia memeluk
ibunya, menciumi kening dan mengusap pipi ibunya yang pucat. Badan yang dingin
membuat Fikri histeris dan merasa kehilangan semua yang ia miliki selama ini.
“Mak! Bangun, Mak! Ini Fikri Mak!
Fikri udah belajar mak! Fikri mau jadi orang pintar! Fikri janji belikan obat
untuk, Mak! Banguuuuuu, Mak!” histerisnya.
Suara-suara
orang mendoakan ibunya membuat Fikri semakin tertekan. Ia tetap tidak terima
ibu kesayangannya sudah tiada. Bayangan tentang kesendirian di hari esok
membuatnya sangat tidak berdaya. Fikri terus histeris sampai terbaring tak
berdaya di samping jenazah ibunya.
Empat
jam berlalu, orang-orang membawa jenazah ibunya untuk di makamkan. Fikri terus
mengikuti hingga sebuah lubang mengakhiri pandangan Fikri. Wajahnya murung dan
terus memeluk batu nisan. Ia teringat akan suapan-suapan kasih sayang dari
ibunya, nyanyian serta pelukan hangat saat tidur. Fikri teringat akan kerannya
betis ibu yang bekerja keras membesarkannya.
“Mak! Mak! Bangun mak! Emak pulang!
Temankan Fikri di rumah, Mak! Fikri nda bisa sendiri. Fikri takut, Mak!” ucap Fikri berulang-ulang.
Tepukan
telapak tangan menimpa bahunya. Seorang pria berambut gondrong bertopi duduk
mendekatinya. Fikri tak pernah bertemu dengan sosok pria yang tersenyum
merangkulnya erat. Pria itu memberikan nasehat padanya hingga ia merasa kuat.
“Kamu lihat ini?” pria itu menunjukan kantong plastik.
“semua ini mahal hargannya, Nak!
Ini tulisan termahal yang pernah saya temukan!” ia menunjukan tulisan Fikri yang sudah ia
buang.
“Ambil saja semuannya, Om! Fikri
sudah tidak perlu itu lagi! Fikri hanya perlu Emak!” sambil melelehkan airmata.
“Om akan terbitkan catatanmu, Nak! Mulai
hari ini, kamu tinggal di rumah om” lanjut pria gondrong itu.
Fikri
tak sanggup menolak ajakan itu. Sambil menoleh dan enggan meninggalkan makam
Fikri mengikuti pria itu. Setelah enam bulan berlalu, sebuah buku berisi
catatan Fikri terjual. Fikri diangkat menjad anak oleh pria yang ternyata
adalah penulis buku di salah satu penerbit besar.
(CERPEN DI WARUNG KOPI INDOR PONTIANAK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar