CERPEN

Minggu, 22 Juli 2012

SURAT DARI PIKIRAN

Tidak ada pertemuan, bahkan aku tak pernah mengenalnya. Tapi, sosok itu selalu menjadi bayangan yang mengikuti kemanapun tubuhku pergi. Ketika aku sedang tidur, bayangan itu masuk ke dalam mimpiku serupa objek yang buran. Bertubuh semampai, sawo matang, lalu ku rasakan kehangatan jemarinya yang membuat seluruh pikiranku ke arah bahagia.

Tetapi menjadi cerita yang aneh. Tidak ada pertemuan, tapi di sisi yang tersembunyi aku selalu mencarinya. Aku selalu melirik ke sudut-sudut, lalu menunggu hilangnya komunikasi itu. Sebab, aku belum pernah mengatakan perasaan unik ku ini tentang dia.

Hingga sekarang aku sering bertanya "apakah aku sedang jatuh cinta?" tapi " Aku jatuh cinta pada siapa?" lalu selanjutnya aku bertanya " Mungkinkah mencintainya?". Nah, itulah yang hingga saat ini menjadi benalu di pikiranku.

Aku hanya berkomunikasi dengannya dalam waktu 2 jam. Mendengar suaranya hingga ku tertawa, membacakan puisi cinta hingga ia terkesima, lalu pukul 1 malam itu menjadi akhir dari percakapan itu. Penyakitku pun kambuh, terus-menerus memikirkan yang tak pernah ku lihat.

Empat hari detik-demi-detik terjawab " Aku mulai kehilangan harapan" dan aku mengerti "Ini yang di sebut jatuh cinta" perasaan yang pernah aku alami ketika masih di SMA. Lama sudah, aku menjadi kaku dan tabu untuk menyatakannya. Waktu 2 jam itu telah aku sia-siakan. Yang ada di pikiranku kali ini hanya "dia sudah bersama kekasihnya" dan " waktu tidak memihak dan tidak memberiku kesempatan untuk ini"

Jika pun pernyataan ini terbaca olehnya. Aku merasakan senyumannya, yang terpenting dalam hidupku kali ini adalah "DIA TAHU BAHWA AKU SANGAT MENCINTAINYA".

Walau saat ini semua hanya menjadi goresan dalam syair-syairku, dalam cerpen-cerpenku, lalu dalam kata-kata sayang yang terlontar dalam doaku seperti hamparan pasir putih.

SAJAK HATI
 Jimmy S. Mudya
 ================
Hatiku bergetar
Bergetar pada pikiran
Bergetar pada bayangan
Bergetar pada kata-kata
Bergetar pada harapan

aku tak mendegar lagi
sekilas ku di terpa
berhari-hari aku terkulai
sekilas ia bernyanyi
berabad jiwaku mencari

di mana?
aku bahkan tak melihat lambaiannya
diam
sunyi
berkeluh kesah mencari yang tak ku mengerti
tanpa alasan
tanpa pembuktian
imanku dan imanmu bersekutu
tapi kenapa dengan raga?

sekilas angin milir ke jiwa
aku kembali resah entah hingga kapan
tiada sempurna wujud itu

hanya pada angin
hanya pada matahari
lalu pada bulan
berakhir pada harapan "kapan"

=================================================================

 Untukmu gadis misteriusku
selalu dalam lindungan-NYA
amin


Sabtu, 26 Mei 2012

CINTAKU BERAHIR DI ANGKA TIGA (CERPEN)

Siapa aku, bagaimana aku mengartikan cinta yang sesungguhnya? Aku tak pernah mengerti sebuah game yang di sebut cinta ini. Penuh dengan trik, penuh dengan misteri, bahkan sulit untuk di tebak atau di reka-reka.

sudah tiga tahun lamanya Rey dan Wina menjalin hubungan. Diawali pertemanan, hingga semakin tumbuh bak bunga mawar yang selalu dijadikan andalan bagi pria untuk meraih perhatian wanita.

Hari berganti hari. Saling mengunjungi dan bercumbu seperti semut yang selalu menyugukan keningnya setiap bertemu. Mata Wina terpejam merasakan hangatnya nafas Rey yang melekat di keningnya. Tanpa perintah langsung, ke dua tangan Wina merangkul tubuh macho Rey yang membalasnya dengan dekapan yang begitu erat.

Berjalan bersama, berbagi cerita, tertawa, bahkan dalam tangispun Rey selalu hadir membawakan sebongkah ice cream demi senyum Wina yang indah. Lesung pipinya yang melukis wajahnya bak monalisa yang tak terhapus waktu. Menjelma dalam sugesti-sugesti yang mencurahkan bibit-bibit rindu ketika tak berama.

Itulah yang selama ini Wina rasakan. Kenyamanan, perhatian, dan kasih sayang yang membuat Rey berbeda dari pria-pria yang Wina temui. Saking takutnya, Wina selalu bertanya
"kamu di mana?"
"lagi apa, Rey?"
"udah makan?"
"Rey, Jangan tinggalin Wina yah"
itulah yang sering di ucap Wina baik lewat pesan singkat, maupun lewat telp.

***
Memang hubungan yang begitu akrab tidak menjamin suatu kepuasan bagi seorang Rey, pria tampan bak arjuna bagi Wina.
Itu jawaban yang di terima oleh Wina ketika ia bertanya.
"siapa Jes itu Rey?"
Sikap bungkam yang dipancarkan dari wajah Rey mengisyaratkan bahwa Jes adalah kekasih yang baru Rey kenal beberapa minggi ini.

Tidak ada yang bisa Wina lakukan. Ia tak bisa marah, hanya tergelam dalam kecembuaruan yang membuatnya sering meneteskan airmata di kamar mungilnya. Terkadang ia berpikir untuk mengakhiri hubungannya. Namun, ia tak sekokoh benteng cina, tak setegar hercules, hanya Wina yang tak berdaya. Apalagi setelah pernyataan yang menarik urat sarafnya hingga melelehkan air matanya.
"Maaf, Aku sayang ma dedek. Beri aku waktu untuk memikirkan bagaimana caranya meninggalkan Jes tanpa menyakiti hatinya"

Mendengar itu, Wina harus berabar jika harus memiliki Rey yang sudah menjadi mimpi IMAM hidup baginya. Sosok suami yang amat di impikan selama tiga tahun itu telah berbagi perasaan padan wanita lain.

***
Sudah 3 bulan berlalu. Tak ada perubahan, bahkan Wina pernah melihat Rey dan Jes berjalan berdua di sebuah caffe bola. Pemandangan itu membuat Wina sangat putus asa dengan keadaan yang terus meyiksa sanubarinya.
"maaf Rey, Kita putus saja" ungkap Wina.
"Kenapa dek? Please, kamu jangan lakukan itu, aku tidak bisa tanpa kamu dek.Beri Rey waktu" bela Rey. Wina menangis

"sampai kapan Rey?" tanya Wina tak sanggup menahan tangis.

"Jujur yang paling Rey sayang cuma Wina. Tapi, sikap Dedek yang selama ini terlalu protektif. Melarang ini dan itu, Dedek Juga suka marah-marah tidak jelas. Rey cuma ingin Wina berubah" ungkap Rey membela diri.

"kenapa tidak bilang dari kemarin mau Rey apa?" Wina menjawab terbata-bata.

"Karna Dedek nda pernah mau mendengar apa lagi mengalah untuk semua bimbingan Rey selama ini" ungkap Rey.

Wina mengakhiri pembicaraan itu dan membayangkan semua pernyataan Rey selama hubungan mereka terjalin. Wina baru ingat, ternyata setiap pertengkaran kecil yang sering terjadi tidak sepenuhnya di maafkan oleh Rey. Semua ia pendam dalam kesabarannya.

***
ke esokan harinya. Rey menemui Wina di kantin kampus. Keduanya tak seperti biasa saling memberikan ciuman di kening atau memegang jemari.

Di kantin itu Rey menceritakan. bahwa selama ini Jes lah yang selalu menjadi pelariannya selama mereka bertengkar. Jes yang juga mencintainya sejak dulu selalu ada untuk menenangkan dan mendengarkan semua curhat Rey tentang Wina.

"untuk sekarang! Aku harus memilih Jes! kita sahabat saja Win! Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku"

PRIA dan WANITA di RUMAH KOSONG (cerita hot) "NGAPAIN YAH???"

Di sebuah rumah kosong, sepasang kekasih sedang duduk berdua. Tidak ada orang lain di sana. Hanya ada suara burung dan suara angin yang mengibas daun pisang di sekitar itu.
***
Si pria memperhatikan bola mata si wanita yang sedikit merunduk malu (menampakan wajah manis ), Melihat respon postif itu, si pria langsung menggengam jemari halus dan menoleh ke kiri dan ke kanan. Si pria takut kalau-kalau ada orang yang sedang melihat aksi berikutnya.
***
Merasa aman, Si Pria menarik kepala si wanita agar menempelkan pipinya. Hum...si pria langsung menarik nafas panjang merasakan aroma tubuh wanita yang semerbak tanpa tanding itu. Si wanita tersipu dan merasa nyaman ketika si pria mulai menggodanya.
***
Si Pria melihat sela-sela yang dapat dijadikan bahan rayuan. Ia mulai memuji kecantikannya, halus kulitnya, terakhir mengungkapkan sebuah kata " aku sayang kamu" si wanita langsung merespon dengan gerakan verbal bersandar dalam pelukan si Pria.
***
Si pria melanjutkan aksinya. Menyentuh pipi dan mendekatkan wajahnya. Si Wanita merunduk malu tapi dalam hati terlihat menikmati skenario itu. Akhirnya si pria dan wanita terhanyut dalam cerita yang tak biasa itu.
***
Si pria dan wanta merasakan detak jantuk dan nafas yang tak bisa. Si wanita mencengkram erat-erat jemari si pria. Bandanya bergetar, matanya terbuka lebar dengan keringat di sekitar wajah (tegang)
***
Si Pria akhirnya membuka matanya yang terpejam dalam pelukan itu dan bertanya
"kamu kenapa sayang?"
Rupanya si wanita keringat dingin karena memegang sesuatu yang berbentuk seperti terong yang sedikit lembek itu.
***
Si Pria menegang, sedikit mundur dengan otot agak menegang.
"kita pulang yuk!" ajak si Pria.
"iya, ne Tai harus segera di cuci" ujar si wanita.
"iya, siapa yang boker sembarangan yah" tanya si pria.
***
akhirnya mereka berdua pulang.

Rabu, 11 Januari 2012

PANTAI MAMA


Sudah banyak bahasa yang ku ucapkan, sudah letih telapak kaki mengikuti badanku. Matahari terus saja menyengat hingga usang tapak jelas di kulit ari ku. Ku terus memacu semua hasrat yang tersembunyi di balik sembilu di hatiku. Aku kembali lagi menulis dan menulis, mengungkapkan semua keluh kesah dan mewakili semua perasaan yang tersembunyi di balik senyumanku. Satu prasasti ku kenang, ku ukir dibalik lumpur hitam di dekat rumahku.  Di sanalah aku mengijakkan kakiku yang dulu gemuk walau sedikit retak di sela telapak kakiku akibat kutu air.
Saat aku melangkah kencang, aku mendengar suara tawa ciptaaNYA yang lain. Ada yang sedang mengisap sebatang rokok, menghirup kopi yang menangis di dalam cangkir. Ada juga yang sibuk bercanda dengan pasangan-pasangan mereka.
“Mita!” seorang ibu berusia 35 tahun memanggilku. Aku berhenti, enggan kedua pasang mataku untuk melirik ke sisi lain. Aku merasakan rasa gelik dari tawa-tawa mereka yang sedang memandangiku penuh kegelian. Aku hanya diam saja.
“Suruh ibumu ke mari! Ada sisa makanan di dapur! Sayang kalau tidak di makan!” lanjut ibu itu.
Ku jawab dengan senyuman lalu berbalik arah menapaki jalanan yang terasa menyengat di telapak kakiku. Ku terus menerpa angin, terus berlari, sembilu di punggungku menagis, bilur-bilurnya mengering, darah ku menempel erat di punggungku. Ku hempaskan badanku dan menerawang gugusan awan putih. Debur ombak pantai, suara kicau burung, tarian-tarian keong, serta buih-buih laut yang menambah indah nuansa pantai.
Sejenak aku terbawa dalam lamunan, wajah ibuku menari-nari, tatapan matanya begitu tajam meneriaki lamunanku. Gelembung air mata perlahan merayap dari ujung mata. Ku remas gumpalan pasir putih yang ku genggam, jejarum hujan menabrak wajahku sedikit demi sedikit. Inilah yang ku rasakan setiap hari, mungkin sampai waktu akan berhenti berbincang tentang ibuku. Meneriaki kutukkan yang ku terima dari mereka.
Aku bangkit melihat gulungan ombak di pantai itu. Perlahan debur ombak menyapa telapak kakiku. Ingin sekali aku mengajak ibu di sini seperti dulu. Berlari-lari bersama ayahku yang paling aku cintai. Ayah! Seorang ayah kebanggaanku yang pergi menginggalkanku dan ibu. Ayah yang rela menikah lagi dan membiarkan kami memakan nasi sisa dari rumah makan yang tidak jauh dari gubuk tua itu. Di samping gudang tua, jauh dari manusia-manusia yang mengucilkan ibuku.
Sejak kecil aku di sebut anak pelacur, Anak perempuan nakal, dan anak haram, tapi dia ibuku. Ibuku yang paling sayang padaku, ibu terbaik dari keindahan pantai ini. Ibu yang selalu memberiku makan, ibu yang memukuli punggungku hingga begini. Aku cinta pada Ibu! Dia penyelamatku ketika orang-orang melemparinya dengan kutukan, ketika orang melempari kami dengan batu, ingin membakar kami dengan api. Ibu yang memelukku, dia pahlawan yang luar biasa.
Sejak peristiwa itu terjadi. Ayahku tidak membela, ia malah pergi jauh meninggalkan kami. Ayah yang malah mengajakku turut meninggalkan ibu dalam keadaan sakit. Mereka memang perduli padaku, tapi mereka tidak perduli pada keadaan ibu. Mereka memintaku meninggalkan ibu karena takut aku terjangkit penyakit kutukan. HIV kata mereka, Ibuku terjangkit penyakit menular karena menjadi pelayan para pria hidung belang di sebuah hotel berbintang.
Sudah dua tahun peristiwa itu berlalu, tapi tak sedikitpun terhapus dari ingatanku. Tuhan bilang padaku, Ibu adalah malaikat penolong, surga ku ada di telapak kaki ibu. Aku tak mungkin menginggalkan ibu walau ia terus memarahiku, mengusirku, memukul sekujur tubuhku, sampai mengusirku dengan sebilah rotan. Luka-luka ini tidak seberapa jika dibandingkan luka yang ibu rasakan. 
Aku berdiri, perlahan langkah kakiku menapaki hamparan pasir putih mendekati gubuk tua di tepi pantai. Aku mendengar ibu merintih kesakitan, ia menghapus luka yang semakin bernanah di lengannya. Rambut ibu yang semakin rontok, semakin tampak tua oleh penyakit itu. Dengusan tangis ibu bagai doa-doa yang tak mungkin ada jawaban. Perlahan aku duduk tepat di pintu gubuk sambil menatap pantai tanpa penghuni itu. Rasa sayang ibu tertancap dari mulutnya, ia kembali menyurukku pergi menemui ayah dan tinggal bersama mereka. “Kamu akan tertular kalau bersama ibu! Pergilah!!”  kata ibu lagi padaku.
Linangan air mataku menjawab kata-kata ibu. “Mama! Cukuplah mereka yang meninggalkan, Mama! Janganlah anakmu ini kau usir pergi! Tak ada yang bisa anakmu lakukan selain menjagamu, Mama!”  aku berdiri dan mendekati Ibu.
Air mata yang sudah mengering terus terpancar dari mata ibu yang selalu memerah. Dari wajah ibu terpancar rasa ingin memelukku dengan erat. Namun, ia hanya bisa mengacungkan rotan agar aku tidak mendekatinya. “Mita! Mama terkutuk! Bahkan sampai raga ini tak bernyawa lagi! Mungkinkah ada seseorang yang berbaik hati yang bersedia memandikan jenasah terkutuk ini! Atau menguburkan bangkai busuk seperti ini”.
Perkataan itu membuatku berhenti sejenak. Gulungan pantai membawa derasnya air mataku yang tak bisa ku tahan lagi.  “Mama! Aku anakmu, Ma! Biarlah tangan ini yang akan membasuh sekujur tubuh, Mama! Biarlah badan kecil ini yang akan menguburkan jenasah Mama! Aku masih bisa melakukan itu!”
Mendengar ucapan ini, ibu melempariku dengan sebilah rotan di tangannya. Tak mau membuat ibu sedih dengan keberadaanku. Aku berlari sekencang-kencannya menyusuri pasir putih sambil berteriak di dalam hati. Ku tatap langit yang mendung kehitam-hitaman, dalam secarik kertas itu kutulis nama ibu yang paling ku sayangi. Ku ikat dalam sepotong kayu dan menghanyutkannya di pantai ini. Aku berharap Tuhan akan membaca nama ibu dan mendengarkan semua keluhan ibu, keluhanku, dan memberikan sedikit keceriaan pada kami berdua.  Aku tahu, Tuhan ada di mana-mana! Aku tahu, esok atau lusa ibuku tercinta akan kembali menemaniku menapaki pantai yang penuh dengan cerita ini.
Selamat jalan untuk hari ini, aku harap engkau jangan pernah kembali sebelu ibuku kembali tersenyum manis seperti dulu. Dia tahu ibuku adalah pelacur, Dia juga tahu kenapa ia mengutuk ibu seperti ini. Jawaban atas resah ini hanya satu, kenapa ibuku harus rela menjadi pelacur? Ibu menyayangi kami, dan hanya nafkah haram yang membuatku berdiri tegar di atas pasir putih.

Selasa, 27 Desember 2011

Catatan Kecil tentang IMAN


Ketika aku melihat dedaunan kering bergoyang, mataku terasa perih oleh cahaya matahari yang marah. Sugesti tentang hujan yang akan turun membuat bumi seperti sedang berada di panggung drama. Apakah itu tandanya Tuhan sedang gelisah? Kita tidak pernah tahu itu. Aku yang bodoh ini bertanya sendiri 

“Adakah sebagian di antara mereka yang sibuk ingat berdoa?” 

Ku lihat di sekelilingku, mereka sibuk menikmati dunia. Bergalau ria, memikirkan perasaan cinta yang kandas, bicara tentang kehebatannya di depan orang, terbahak-bahak dengan segelas tuak di hadapannya, bernegosiasi dengan gadis-gadis, duduk bersama mereka di cafe-cafe, keluyuran mencari remaja-remaja. Aku berfikir objektif, aku juga bagian dari itu! Namun, aku sangat menyadari bahwa masa-masa itu suatu saat akan musnah. Mereka yang tak sempat mengucap syukur akan terjatuh bersama imajinasi dunia yang mereka agung-agungkan.

Aku bukan ahli pikir positif, aku juga bukan Tuhan atau orang tua, aku hanya sebuah buku kecil yang terhanyut di telaga. Aku hanya berpikir tentang suatu agama, belajar saling mengasihi, saling menolong, berbuat baik, selalu mensyukuri semua yang di ciptakanNYA. Anda dan saya pasti bagian dari sebuah agama, tekunlah sahabat. Ketika bumi menangis di siang hari, amarahnya mencuak dari banjir besar, bencana alam, pertengkaran bodoh, penindasan, itu semua adalah kutukan. Catatlah semua peristiwa itu, pikirkanlah dengan iman saudara. Apakah yang akan saudara ketemukan, apakah kegelisahan itu sama dengan ketika pacar Anda tidak datang pada malam minggu, atau ketika kalian tidak mendapat kabar dari pacar Anda dan dilanda gelisah?.... atau ketika pacar Anda sedang di bawa orang? Sesungguhnya semua itu adalah masalah yang amat kecil. Semakin besar cobaan yang datang adalah perbuatan Anda sendiri. Sebab, Anda lupa bahwa hadirnya pasangan, sahabat, saudara, orang tua, atau semua yang berada di sekeliling Anda adalah rencanaNYA.

“Bagaimana Anda melewati semua itu tanpa DIA yang telah menggariskan hidupMU?”

Tuhan itu seperti bayanganMU, lebih dari pacarMU, lebih dari Ayah dan Ibumu. Tuhan selalu mengikutimu di manapun kamu berada. Perbuatanmulah yang menentukan nasibmu, bertanyalah pada dirimu sendiri
 
“Apa yang sudah ku lakukan untuk TUHAN? Seberapa besar gelisahku ketika Tuhan tak ku sebut?”

Ini catatan kecilku untukmu teman, aku bukan orang yang hebat dalam agama. Aku hanya sebutir debu di tengah gersangnya bumi. Namun, hadirku adalah menyirami gersang itu agar tumbuhan dapat bernyanyi dan bergoyang ria untuk anak dan cucuku kelak.

Selasa, 20 Desember 2011

"ANAKKU, HARI INI HARI IBU"


Sudah tengah malam, badan letih terus menari-nari. Ku lihat di sekelilingku mereka tampak pulas menikmati malam. Suara ngorok, pelukan selimut yang membuat badan mereka hangat itu menggoda ku untuk beristirahat. Tapi kenap? Itu tidak terjadi padaku. Suara gelisah membuatku kembali berdiri dan melantunkan lagu lelah dan menari lagu letih. Ku tatap saja wajahnya, sedikit senyum dari pipinya membuatku semangat untuk mengeluarkan puting susu ku padanya. Dia mengisapnya dengan penuh rasa. Ya, dia anak ku tersayang.

Ayam berkokok, aku tak sempat untuk tidur walau anakku begitu pulas di samping ayahnya. Masih ada pekerjaan yang wajib ku lakukan setiap pagi. mencuci popoknya, bekas kecing dan berak yang amat bau sebenarnya. Tapi, semua itu memang tanggung jawabku. Dia anakku yang ku kasihi, dia adalah belahan jiwaku. Ku jemur helai demi helai itu dengan penuh cinta.
Matahari mulai menampakkan parasnya, aku tahu suamiku tercinta akan pergi ke kantor. Aku harus menyediakan sarapan pagi untuknya. 

“Pa! Kopinya di meja yah”

Sapaku pada suamiku yang menjawabku dengan senyuman.
Ku setrika pakaian suamiku, ku sediakan sarapan pagi untuknya. Badanku semakin lesu, sapuan air dingin menyapa kedua kelopak mataku untuk menepis kantuk yang amat berat itu. Tapi, kecupan hangat di keningku membuatku kembali bersemangat. 

“Papa berangkat dulu ya!”

Aku tahu, aku kembali sendirian hari ini. Air hangat sudah siap untuk si bayi tercinta. Dengan penuh hati-hati ku basuh ubun-ubun, matanya, montok badannya, serta sela-sela dagingnya yang yang membuat mataku geram. Aku tertawa keras, gerakan badannya seirama dengan tawa si bayi lucu di dalam baskom.
Sudah hampir siang, mataku sedikit pun tak sempat ku pejamkan. Aku harus bernyanyi lagi sambil mengoyangkan ayun itu sampai si bayi tertidur pulas. Sederet bantal guling itu  memanggilku untuk meletakan badanku. Aku masuk ke dalam alam letih, aku tertidur lelap. Tidur bagiku adalah gaji terbesar dari semuanya. 

“oooooeeeee”

Si bayi menangis lagi, air melucur dari ayunan itu. Aku menarik nafas panjang ku, membangkitkan badan sempoyongan. Ku sorongkan kedua tanganku dan memeluk bayiku dalam gendongan. Aku harus mengganti popoknya lagi. 

Waktu berganti, tahun-tahun membuatnya menjadi seorang anak yang hebat. Aku sangat bangga padanya, walau baru berumur delapan tahun. Ia sudah bisa menyediakanku kartu ucapan yang ia buat sendiri. 

“I MISS YOU, MAM” itu yang ku baca

Aku sadar hari ini adalah hari ibu. Air mataku berlinang, ku peluk anakku dengan kasih sayang. Ku sediakan masakan terenak untuk anakku, memberikan jajan yang lebih untuk membayar kartu ucapan itu. 

Sekarang dia sudah beranjak dewasa. Kesibukan mulai tersorot dari matanya, dia bergaul dengan teman-teman sebayanya. Pagi buta aku melihatnya terpejam, bagun, berseragam, melahap sarapan pagi, tapi aku tak mendengar lagi ia mengirimkanku kartu ucapan. Dalam hatiku yang lirih aku menangis di dalam kamar. Hari ini hari special, biasanya dia mengucapkan selamat hari ibu, dan aku memeluknya untuk membalas ciuman di pipiku. Aku tak bisa meminta, mungkin dia sedang lupa hari ini.

Semakin dewasa, semakin berat rasanya. Anak kesayanganku selalu menjawab semua nasehatku. Terkadang ia suka meninggalkanku begitu saja. Ia tak lagi mau mendengarkan dongeng-dongeng dariku. Kalau aku tidak memberikan jajan yang lebih, maka wajah masam lah yang ia kirim untukku. Terkadang ia melemparkan tas sekolahnya dan masuk kamar. 

Semakin dewasa lagi, aku kembali di uji olehNYA. Anakku tak memperdulikan semua pintaku padanya. Dia sering pulang larut malam, aku sebenarnya gelisah akan kesehatanya, aku juga gelisah akan pergaulannya. Aku ingin dia berhasil menjadi anak yang cerdas dan berbakti pada orang tua. Tapi, aku tak bisa berkata-kata. Aku takut ia marah padaku dan membeciku.

Waktu semakin menua, tetap saja hari ibu ini membuatku menangis. Aku rindu pada bayiku dulu, masa kanak-kanak yang selalu memberiku kartu ucapan. Tapi, hingga anakku sudah menduduki bangku kuliah, rasa gengsi membuatnya takut untuk mengucapkan selamat hari ibu lagi. Dia sudah jauh di sebrang kota. Mungkin sebentar lagi dia akan berkeluarga, memiliki anak yang lucu. Aku hanya bisa berdoa, semoga di hari esok ia akan mengingatku sebagai ibu, mengasihiku, dan mengirimiku lagi kartu ucapan itu. Atau aku akan berpasarah diri hingga aku tak akan pernah membaca tulisan sayang dari anakku lagi.

Sabtu, 10 Desember 2011

Kita dan Tuhan (Posisimu sebagai manusia)


Saat matahari membangunkan aku, kulihat jarum jam yang menyediakan masalah-masalah baru yang penuh berkat. Ku sirami sekujur tubuhku dengan air untuk menghapus kisah-kisah pahit di hari kemarin. Kini aku bercinta dengan hari baru yang penuh dengan sugesti hidup dan persiapan. Aku bahkan tak sempat menyiapkan sarapan pagi hari ini. Mataku ingin sekali terpejam lagi, tapi hatiku bicara 

“Lihatlah matahari pagi sebelum matahari itu pergi meninggalkanmu”

 Aku bergegas  membuka jendela kamarku. Diri sana ku rasakan kehangatan yang luar biasa mendarat pada kulit ku. Mataku tertuju pada dedaunan dan rerumputan yang menari segar sambil meniupkan terompet. 

“Ini hari yang indah”

Itu yang ku tangkap dari cara mereka menari-nari. Ku ambil segera kaos berkerah dan menyemprotnya dengan parfum. Menyetrika celana panjangku dan memoles wajahku di cermin untuk pagi yang indah ini.
Baru saja aku melangkahkan kaki di teras rumah. Gerimis perlahan melayang-layang  di depan ku. Aku pun tersenyum melihatnya, tanpa rasa takut ku lewati gempuran gerimis itu dengan hari yang iklas. Aku menyebut gerimis itu sebagai “Berkat” . Aku tidak merasa pusing sepeti mereka yang ketakutan dan menganggap itu adalah hujan panas. Mereka berusaha melarangku, menarik tanganku dan berbicara.

“Tunggu gerimisnya reda baru kamu pergi”

Mereka memang perhatian, tapi jarum jam bicara padaku dengan lembut “matahari akan kehabisan kesegarannya sebentar lagi”

Ku tarik kesimpulan untuk menguatkan dan melawan segala bahasa yang menghentikan langkahku. Hari ini adalah hari yang berbeda dari hari kemarin. Jika aku melewatkan hari ini, maka aku sudah kehilangan beberapa menit untuk masalah-masalah yang mendidikku esok. Ku ucapkan satu pendapat dalam perasaan yang paling dalam.

“Gerimis itu adalah berkat dari NYA! Dia ingin aku melihat dunia selagi mataku masih bisa melihat, Dia ingin mengajakku bercerita tentang hari ini karena mulutku masih tercipta sempurna, Dia tak ingin aku tertinggal saat mereka menghirup udara pagi yang indah, karena Dia sangat mengasihiku”

Aku pun melanjutkan perjalanan, tak ada rasa dingin. Satu demi satu ku perhatikan wajah-wajah yang membaur. Semua tampak ceria, indah, seolah menyetujui rencana yang di kirim hari kemarin. Aku pun tersenyum, sebab jawaban atas mimpi-mimpi yang terus membuatku malas sudah ku temukan pada hari ini.
Aku bersalaman dengan mereka yang tidak ku kenali, aku berbagi senyum pada mereka yang tua dan muda. Ku sematkan aroma-aroma kegirangan pada bola mataku dengan maksud 

“Mereka akan melihat dunia yang sudah lama hilang dari batin”

Hai kamu yang merasa lelah dengan beban mu, berteriaklah dan katakan dalam hatimu.
 
“segala yang kau tak sanggupi itu adalah rencanaNYA untukmu. Apa pun yang kamu lihat sudah di pertimbangkan olehNYA padamu. Janganlah engkau berkata tidak pada apa yang IA titipkan untuk kamu kerjakan. Tapi, sebutlah namaNYA dengan hormat agar kau bisa melakukannya sekehendak denganNYA.

Jika hari esok aku masih melihat matahari pagi, aku tidak akan lupa bahwa ada Dia yang membangunkanku. Jika aku melihat teriakan senja terngiang di telingaku. Maka, aku harus bersujud memuja dan berterima kasih atas waktu yang di sempatkan pada ragaku.  Untuk hari ini dan esok, untuk hari ini dan lusa, atau untuk hari ini dan hari-hari berikutnya. Izinkan aku berlutut memujaMU wahai sang pencipta segala macam yang ada di bumi termasuk semua yang telah Kau titipkan untuk ku bimbing dan ku lakukan.

Air akan terus mengalir begitu juga hari dan segala macam cuaca. Mereka siap menemani kita untuk kenikmatan-kenikmatan. Selamat mengucap syukur atas apa yang ada, dan bersujut atas layakmu sebagai manusia yang mencintai SANG KUASA.