Sudah banyak bahasa yang ku
ucapkan, sudah letih telapak kaki mengikuti badanku. Matahari terus saja
menyengat hingga usang tapak jelas di kulit ari ku. Ku terus memacu semua
hasrat yang tersembunyi di balik sembilu di hatiku. Aku kembali lagi menulis
dan menulis, mengungkapkan semua keluh kesah dan mewakili semua perasaan yang
tersembunyi di balik senyumanku. Satu prasasti ku kenang, ku ukir dibalik
lumpur hitam di dekat rumahku. Di
sanalah aku mengijakkan kakiku yang dulu gemuk walau sedikit retak di sela
telapak kakiku akibat kutu air.
Saat aku melangkah kencang, aku
mendengar suara tawa ciptaaNYA yang lain. Ada yang sedang mengisap sebatang
rokok, menghirup kopi yang menangis di dalam cangkir. Ada juga yang sibuk
bercanda dengan pasangan-pasangan mereka.
“Mita!”
seorang ibu
berusia 35 tahun memanggilku. Aku berhenti, enggan kedua pasang mataku untuk
melirik ke sisi lain. Aku merasakan rasa gelik dari tawa-tawa mereka yang
sedang memandangiku penuh kegelian. Aku hanya diam saja.
“Suruh
ibumu ke mari! Ada sisa makanan di dapur! Sayang kalau tidak di makan!” lanjut ibu itu.
Ku jawab dengan senyuman lalu
berbalik arah menapaki jalanan yang terasa menyengat di telapak kakiku. Ku
terus menerpa angin, terus berlari, sembilu di punggungku menagis, bilur-bilurnya
mengering, darah ku menempel erat di punggungku. Ku hempaskan badanku dan
menerawang gugusan awan putih. Debur ombak pantai, suara kicau burung,
tarian-tarian keong, serta buih-buih laut yang menambah indah nuansa pantai.
Sejenak aku terbawa dalam
lamunan, wajah ibuku menari-nari, tatapan matanya begitu tajam meneriaki
lamunanku. Gelembung air mata perlahan merayap dari ujung mata. Ku remas
gumpalan pasir putih yang ku genggam, jejarum hujan menabrak wajahku sedikit
demi sedikit. Inilah yang ku rasakan setiap hari, mungkin sampai waktu akan
berhenti berbincang tentang ibuku. Meneriaki kutukkan yang ku terima dari
mereka.
Aku bangkit melihat gulungan
ombak di pantai itu. Perlahan debur ombak menyapa telapak kakiku. Ingin sekali
aku mengajak ibu di sini seperti dulu. Berlari-lari bersama ayahku yang paling
aku cintai. Ayah! Seorang ayah kebanggaanku yang pergi menginggalkanku dan ibu.
Ayah yang rela menikah lagi dan membiarkan kami memakan nasi sisa dari rumah
makan yang tidak jauh dari gubuk tua itu. Di samping gudang tua, jauh dari
manusia-manusia yang mengucilkan ibuku.
Sejak kecil aku di sebut anak
pelacur, Anak perempuan nakal, dan anak haram, tapi dia ibuku. Ibuku yang
paling sayang padaku, ibu terbaik dari keindahan pantai ini. Ibu yang selalu
memberiku makan, ibu yang memukuli punggungku hingga begini. Aku cinta pada
Ibu! Dia penyelamatku ketika orang-orang melemparinya dengan kutukan, ketika
orang melempari kami dengan batu, ingin membakar kami dengan api. Ibu yang
memelukku, dia pahlawan yang luar biasa.
Sejak peristiwa itu terjadi.
Ayahku tidak membela, ia malah pergi jauh meninggalkan kami. Ayah yang malah
mengajakku turut meninggalkan ibu dalam keadaan sakit. Mereka memang perduli
padaku, tapi mereka tidak perduli pada keadaan ibu. Mereka memintaku
meninggalkan ibu karena takut aku terjangkit penyakit kutukan. HIV kata mereka,
Ibuku terjangkit penyakit menular karena menjadi pelayan para pria hidung
belang di sebuah hotel berbintang.
Sudah dua tahun peristiwa itu
berlalu, tapi tak sedikitpun terhapus dari ingatanku. Tuhan bilang padaku, Ibu
adalah malaikat penolong, surga ku ada di telapak kaki ibu. Aku tak mungkin
menginggalkan ibu walau ia terus memarahiku, mengusirku, memukul sekujur
tubuhku, sampai mengusirku dengan sebilah rotan. Luka-luka ini tidak seberapa
jika dibandingkan luka yang ibu rasakan.
Aku berdiri, perlahan langkah
kakiku menapaki hamparan pasir putih mendekati gubuk tua di tepi pantai. Aku
mendengar ibu merintih kesakitan, ia menghapus luka yang semakin bernanah di lengannya.
Rambut ibu yang semakin rontok, semakin tampak tua oleh penyakit itu. Dengusan
tangis ibu bagai doa-doa yang tak mungkin ada jawaban. Perlahan aku duduk tepat
di pintu gubuk sambil menatap pantai tanpa penghuni itu. Rasa sayang ibu
tertancap dari mulutnya, ia kembali menyurukku pergi menemui ayah dan tinggal
bersama mereka. “Kamu akan tertular kalau
bersama ibu! Pergilah!!” kata ibu
lagi padaku.
Linangan air mataku menjawab
kata-kata ibu. “Mama! Cukuplah mereka
yang meninggalkan, Mama! Janganlah anakmu ini kau usir pergi! Tak ada yang bisa
anakmu lakukan selain menjagamu, Mama!” aku berdiri dan mendekati Ibu.
Air mata yang sudah mengering
terus terpancar dari mata ibu yang selalu memerah. Dari wajah ibu terpancar
rasa ingin memelukku dengan erat. Namun, ia hanya bisa mengacungkan rotan agar
aku tidak mendekatinya. “Mita! Mama
terkutuk! Bahkan sampai raga ini tak bernyawa lagi! Mungkinkah ada seseorang
yang berbaik hati yang bersedia memandikan jenasah terkutuk ini! Atau
menguburkan bangkai busuk seperti ini”.
Perkataan itu membuatku berhenti
sejenak. Gulungan pantai membawa derasnya air mataku yang tak bisa ku tahan
lagi. “Mama! Aku anakmu, Ma! Biarlah tangan ini yang akan membasuh sekujur
tubuh, Mama! Biarlah badan kecil ini yang akan menguburkan jenasah Mama! Aku
masih bisa melakukan itu!”
Mendengar ucapan ini, ibu
melempariku dengan sebilah rotan di tangannya. Tak mau membuat ibu sedih dengan
keberadaanku. Aku berlari sekencang-kencannya menyusuri pasir putih sambil
berteriak di dalam hati. Ku tatap langit yang mendung kehitam-hitaman, dalam
secarik kertas itu kutulis nama ibu yang paling ku sayangi. Ku ikat dalam
sepotong kayu dan menghanyutkannya di pantai ini. Aku berharap Tuhan akan
membaca nama ibu dan mendengarkan semua keluhan ibu, keluhanku, dan memberikan
sedikit keceriaan pada kami berdua. Aku
tahu, Tuhan ada di mana-mana! Aku tahu, esok atau lusa ibuku tercinta akan
kembali menemaniku menapaki pantai yang penuh dengan cerita ini.
Selamat jalan untuk hari ini, aku
harap engkau jangan pernah kembali sebelu ibuku kembali tersenyum manis seperti
dulu. Dia tahu ibuku adalah pelacur, Dia juga tahu kenapa ia mengutuk ibu
seperti ini. Jawaban atas resah ini hanya satu, kenapa ibuku harus rela menjadi
pelacur? Ibu menyayangi kami, dan hanya nafkah haram yang membuatku berdiri
tegar di atas pasir putih.