CERPEN

Rabu, 11 Januari 2012

PANTAI MAMA


Sudah banyak bahasa yang ku ucapkan, sudah letih telapak kaki mengikuti badanku. Matahari terus saja menyengat hingga usang tapak jelas di kulit ari ku. Ku terus memacu semua hasrat yang tersembunyi di balik sembilu di hatiku. Aku kembali lagi menulis dan menulis, mengungkapkan semua keluh kesah dan mewakili semua perasaan yang tersembunyi di balik senyumanku. Satu prasasti ku kenang, ku ukir dibalik lumpur hitam di dekat rumahku.  Di sanalah aku mengijakkan kakiku yang dulu gemuk walau sedikit retak di sela telapak kakiku akibat kutu air.
Saat aku melangkah kencang, aku mendengar suara tawa ciptaaNYA yang lain. Ada yang sedang mengisap sebatang rokok, menghirup kopi yang menangis di dalam cangkir. Ada juga yang sibuk bercanda dengan pasangan-pasangan mereka.
“Mita!” seorang ibu berusia 35 tahun memanggilku. Aku berhenti, enggan kedua pasang mataku untuk melirik ke sisi lain. Aku merasakan rasa gelik dari tawa-tawa mereka yang sedang memandangiku penuh kegelian. Aku hanya diam saja.
“Suruh ibumu ke mari! Ada sisa makanan di dapur! Sayang kalau tidak di makan!” lanjut ibu itu.
Ku jawab dengan senyuman lalu berbalik arah menapaki jalanan yang terasa menyengat di telapak kakiku. Ku terus menerpa angin, terus berlari, sembilu di punggungku menagis, bilur-bilurnya mengering, darah ku menempel erat di punggungku. Ku hempaskan badanku dan menerawang gugusan awan putih. Debur ombak pantai, suara kicau burung, tarian-tarian keong, serta buih-buih laut yang menambah indah nuansa pantai.
Sejenak aku terbawa dalam lamunan, wajah ibuku menari-nari, tatapan matanya begitu tajam meneriaki lamunanku. Gelembung air mata perlahan merayap dari ujung mata. Ku remas gumpalan pasir putih yang ku genggam, jejarum hujan menabrak wajahku sedikit demi sedikit. Inilah yang ku rasakan setiap hari, mungkin sampai waktu akan berhenti berbincang tentang ibuku. Meneriaki kutukkan yang ku terima dari mereka.
Aku bangkit melihat gulungan ombak di pantai itu. Perlahan debur ombak menyapa telapak kakiku. Ingin sekali aku mengajak ibu di sini seperti dulu. Berlari-lari bersama ayahku yang paling aku cintai. Ayah! Seorang ayah kebanggaanku yang pergi menginggalkanku dan ibu. Ayah yang rela menikah lagi dan membiarkan kami memakan nasi sisa dari rumah makan yang tidak jauh dari gubuk tua itu. Di samping gudang tua, jauh dari manusia-manusia yang mengucilkan ibuku.
Sejak kecil aku di sebut anak pelacur, Anak perempuan nakal, dan anak haram, tapi dia ibuku. Ibuku yang paling sayang padaku, ibu terbaik dari keindahan pantai ini. Ibu yang selalu memberiku makan, ibu yang memukuli punggungku hingga begini. Aku cinta pada Ibu! Dia penyelamatku ketika orang-orang melemparinya dengan kutukan, ketika orang melempari kami dengan batu, ingin membakar kami dengan api. Ibu yang memelukku, dia pahlawan yang luar biasa.
Sejak peristiwa itu terjadi. Ayahku tidak membela, ia malah pergi jauh meninggalkan kami. Ayah yang malah mengajakku turut meninggalkan ibu dalam keadaan sakit. Mereka memang perduli padaku, tapi mereka tidak perduli pada keadaan ibu. Mereka memintaku meninggalkan ibu karena takut aku terjangkit penyakit kutukan. HIV kata mereka, Ibuku terjangkit penyakit menular karena menjadi pelayan para pria hidung belang di sebuah hotel berbintang.
Sudah dua tahun peristiwa itu berlalu, tapi tak sedikitpun terhapus dari ingatanku. Tuhan bilang padaku, Ibu adalah malaikat penolong, surga ku ada di telapak kaki ibu. Aku tak mungkin menginggalkan ibu walau ia terus memarahiku, mengusirku, memukul sekujur tubuhku, sampai mengusirku dengan sebilah rotan. Luka-luka ini tidak seberapa jika dibandingkan luka yang ibu rasakan. 
Aku berdiri, perlahan langkah kakiku menapaki hamparan pasir putih mendekati gubuk tua di tepi pantai. Aku mendengar ibu merintih kesakitan, ia menghapus luka yang semakin bernanah di lengannya. Rambut ibu yang semakin rontok, semakin tampak tua oleh penyakit itu. Dengusan tangis ibu bagai doa-doa yang tak mungkin ada jawaban. Perlahan aku duduk tepat di pintu gubuk sambil menatap pantai tanpa penghuni itu. Rasa sayang ibu tertancap dari mulutnya, ia kembali menyurukku pergi menemui ayah dan tinggal bersama mereka. “Kamu akan tertular kalau bersama ibu! Pergilah!!”  kata ibu lagi padaku.
Linangan air mataku menjawab kata-kata ibu. “Mama! Cukuplah mereka yang meninggalkan, Mama! Janganlah anakmu ini kau usir pergi! Tak ada yang bisa anakmu lakukan selain menjagamu, Mama!”  aku berdiri dan mendekati Ibu.
Air mata yang sudah mengering terus terpancar dari mata ibu yang selalu memerah. Dari wajah ibu terpancar rasa ingin memelukku dengan erat. Namun, ia hanya bisa mengacungkan rotan agar aku tidak mendekatinya. “Mita! Mama terkutuk! Bahkan sampai raga ini tak bernyawa lagi! Mungkinkah ada seseorang yang berbaik hati yang bersedia memandikan jenasah terkutuk ini! Atau menguburkan bangkai busuk seperti ini”.
Perkataan itu membuatku berhenti sejenak. Gulungan pantai membawa derasnya air mataku yang tak bisa ku tahan lagi.  “Mama! Aku anakmu, Ma! Biarlah tangan ini yang akan membasuh sekujur tubuh, Mama! Biarlah badan kecil ini yang akan menguburkan jenasah Mama! Aku masih bisa melakukan itu!”
Mendengar ucapan ini, ibu melempariku dengan sebilah rotan di tangannya. Tak mau membuat ibu sedih dengan keberadaanku. Aku berlari sekencang-kencannya menyusuri pasir putih sambil berteriak di dalam hati. Ku tatap langit yang mendung kehitam-hitaman, dalam secarik kertas itu kutulis nama ibu yang paling ku sayangi. Ku ikat dalam sepotong kayu dan menghanyutkannya di pantai ini. Aku berharap Tuhan akan membaca nama ibu dan mendengarkan semua keluhan ibu, keluhanku, dan memberikan sedikit keceriaan pada kami berdua.  Aku tahu, Tuhan ada di mana-mana! Aku tahu, esok atau lusa ibuku tercinta akan kembali menemaniku menapaki pantai yang penuh dengan cerita ini.
Selamat jalan untuk hari ini, aku harap engkau jangan pernah kembali sebelu ibuku kembali tersenyum manis seperti dulu. Dia tahu ibuku adalah pelacur, Dia juga tahu kenapa ia mengutuk ibu seperti ini. Jawaban atas resah ini hanya satu, kenapa ibuku harus rela menjadi pelacur? Ibu menyayangi kami, dan hanya nafkah haram yang membuatku berdiri tegar di atas pasir putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar