Sudah tengah malam,
badan letih terus menari-nari. Ku lihat di sekelilingku mereka tampak pulas
menikmati malam. Suara ngorok, pelukan selimut yang membuat badan mereka hangat
itu menggoda ku untuk beristirahat. Tapi kenap? Itu tidak terjadi padaku. Suara
gelisah membuatku kembali berdiri dan melantunkan lagu lelah dan menari lagu
letih. Ku tatap saja wajahnya, sedikit senyum dari pipinya membuatku semangat
untuk mengeluarkan puting susu ku padanya. Dia mengisapnya dengan penuh rasa.
Ya, dia anak ku tersayang.
Ayam berkokok, aku tak
sempat untuk tidur walau anakku begitu pulas di samping ayahnya. Masih ada
pekerjaan yang wajib ku lakukan setiap pagi. mencuci popoknya, bekas kecing dan
berak yang amat bau sebenarnya. Tapi, semua itu memang tanggung jawabku. Dia anakku
yang ku kasihi, dia adalah belahan jiwaku. Ku jemur helai demi helai itu dengan
penuh cinta.
Matahari mulai
menampakkan parasnya, aku tahu suamiku tercinta akan pergi ke kantor. Aku harus
menyediakan sarapan pagi untuknya.
“Pa!
Kopinya di meja yah”
Sapaku pada suamiku
yang menjawabku dengan senyuman.
Ku setrika pakaian
suamiku, ku sediakan sarapan pagi untuknya. Badanku semakin lesu, sapuan air
dingin menyapa kedua kelopak mataku untuk menepis kantuk yang amat berat itu.
Tapi, kecupan hangat di keningku membuatku kembali bersemangat.
“Papa
berangkat dulu ya!”
Aku tahu, aku kembali
sendirian hari ini. Air hangat sudah siap untuk si bayi tercinta. Dengan penuh
hati-hati ku basuh ubun-ubun, matanya, montok badannya, serta sela-sela
dagingnya yang yang membuat mataku geram. Aku tertawa keras, gerakan badannya
seirama dengan tawa si bayi lucu di dalam baskom.
Sudah hampir siang,
mataku sedikit pun tak sempat ku pejamkan. Aku harus bernyanyi lagi sambil
mengoyangkan ayun itu sampai si bayi tertidur pulas. Sederet bantal guling
itu memanggilku untuk meletakan badanku.
Aku masuk ke dalam alam letih, aku tertidur lelap. Tidur bagiku adalah gaji
terbesar dari semuanya.
“oooooeeeee”
Si bayi menangis lagi,
air melucur dari ayunan itu. Aku menarik nafas panjang ku, membangkitkan badan
sempoyongan. Ku sorongkan kedua tanganku dan memeluk bayiku dalam gendongan.
Aku harus mengganti popoknya lagi.
Waktu berganti,
tahun-tahun membuatnya menjadi seorang anak yang hebat. Aku sangat bangga
padanya, walau baru berumur delapan tahun. Ia sudah bisa menyediakanku kartu
ucapan yang ia buat sendiri.
“I
MISS YOU, MAM” itu yang ku baca
Aku sadar hari ini
adalah hari ibu. Air mataku berlinang, ku peluk anakku dengan kasih sayang. Ku sediakan
masakan terenak untuk anakku, memberikan jajan yang lebih untuk membayar kartu
ucapan itu.
Sekarang dia sudah
beranjak dewasa. Kesibukan mulai tersorot dari matanya, dia bergaul dengan
teman-teman sebayanya. Pagi buta aku melihatnya terpejam, bagun, berseragam,
melahap sarapan pagi, tapi aku tak mendengar lagi ia mengirimkanku kartu
ucapan. Dalam hatiku yang lirih aku menangis di dalam kamar. Hari ini hari special,
biasanya dia mengucapkan selamat hari ibu, dan aku memeluknya untuk membalas
ciuman di pipiku. Aku tak bisa meminta, mungkin dia sedang lupa hari ini.
Semakin dewasa, semakin
berat rasanya. Anak kesayanganku selalu menjawab semua nasehatku. Terkadang ia
suka meninggalkanku begitu saja. Ia tak lagi mau mendengarkan dongeng-dongeng
dariku. Kalau aku tidak memberikan jajan yang lebih, maka wajah masam lah yang
ia kirim untukku. Terkadang ia melemparkan tas sekolahnya dan masuk kamar.
Semakin dewasa lagi,
aku kembali di uji olehNYA. Anakku tak memperdulikan semua pintaku padanya. Dia
sering pulang larut malam, aku sebenarnya gelisah akan kesehatanya, aku juga
gelisah akan pergaulannya. Aku ingin dia berhasil menjadi anak yang cerdas dan
berbakti pada orang tua. Tapi, aku tak bisa berkata-kata. Aku takut ia marah
padaku dan membeciku.
Waktu semakin menua,
tetap saja hari ibu ini membuatku menangis. Aku rindu pada bayiku dulu, masa
kanak-kanak yang selalu memberiku kartu ucapan. Tapi, hingga anakku sudah
menduduki bangku kuliah, rasa gengsi membuatnya takut untuk mengucapkan selamat
hari ibu lagi. Dia sudah jauh di sebrang kota. Mungkin sebentar lagi dia akan
berkeluarga, memiliki anak yang lucu. Aku hanya bisa berdoa, semoga di hari
esok ia akan mengingatku sebagai ibu, mengasihiku, dan mengirimiku lagi kartu
ucapan itu. Atau aku akan berpasarah diri hingga aku tak akan pernah membaca
tulisan sayang dari anakku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar