CERPEN

Jumat, 02 Desember 2011

HARUSKAH KU SALAHKAN TAKDIR?

Ini kisah malang yang sebenarnya sulit ku percaya. Bahkan untuk mengingat semua lututku menyilu, kaki ku bergetar, mataku enggan melirik, bahkan senyumanku terasa begitu pahit. Awalnya mengenal seorang pria romantis, tampan, dan penyayang adalah dambaanku. Mungkin ini sama seperti kebanyakan wanita-wanita. Harapan itupun terjawab, Frenky. pria tampan, perhatian dan yang paling penting dia sudah bekerja di perkebunan. Aku sangat bangga memiliki dia dalam hidupku.

Beberapa bulan kami menjalin hubungan akhirnya aku merasa sangat nyaman berada disampingnya. Rasa rindu akan aroma badan dan tatapan matanya yang amat ku hafal. Hal yang membuatku sangat bangga adalah ketika Frengky membuktikan cintanya dengan melamarku menjadi istrinya. Rasa girang itu ku sambut dengan riang, pria mapan yang amat ku harapkan siap menjadi imam bagiku sudah ada di depan mata.

Kami pun menikah dan setelah beberapa bulan, aku hamil. Aku dan Frangky sangat bahagia. Setiap aku tidur Frenky selalu memegang perutku, bahkan untuk mencuci pakaian saja dia rela. Aku sangat girang dan bangga mendapat suami yang amat perhatian padaku. Frenky adalah pria yang sangat sabar, walau sering emosiku menanjak dia selalu membuatku tersenyum.

Selang lima bulan aku mengandung, dia mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dia sering pergi ke luar kota untuk survey lapangan. Sebagai seorang istri, aku harus mendukung profesi suamiku. Hari-hariku semakin berat ku lewatkan, kandunganku semakin besar dan amat terasa kerinduan yang padanya. Awal kepergiannya, dia sering sekali memberiku kabar bahkan menanyakan keadaanku. Tapi entah kenapa setera beberapa bulan berlalu aku jarang mendengarkan kabar darinya. Sering aku menghubunginya, namun selalu saja sibuk dan terdengar sedikit emosi.


Usia kandunganku pun memasuki masa-masa akhir. Rasa panik dan rindu kehadiran suami tercinta selalu membuatku menangis. Ketika malam tiba, aku mulai meresah merasakan tendangan dari bayi mungilku. Aku tidak bisa duduk atau berdiri, tendanga itu terasa begitu ganas menyentuh dinding rahimku. Ku pangil-pangil nama Frenky dalam doa. Ku memintanya pulang dalam air mata, namun semua hanya doa-doa semu. Hanya harapan yang sia-sia. Darah membasahi celanaku, keluargaku tampak panik dan segera membawaku ke rumah sakit bersalin.

Aku pun melahirkan seorang putra yang mirip sekali dengan Frenky. Aku berusaha menelponnya, tapi tak ada yang menjawab. Rekan kerjanyapun tampak menyembunyikan keberadaannya. Aku sadar, suamiku sedang mempermaikan perasaanku. Sebagai wanita aku hanya bisa memeluk bantal dan menutup pintu kamar. Menungu dan terus menunggu ia datang memeluk dan membelai rambut bayiku hingga ia tertidur.

Anakku berusia dua tahun, Frenky benar-benar tidak ada kabar. Ku berdiri di tepi sungai yang mengalir lembut. Aku bertanya pada air yang mengalir sampai tetesan air mataku menentuh riak air. Aku ingin tetesan air mataku terbawa arus hingga suamiku dapat menghirup kerinduanku hingga raganya. Sentuhan lembut tanganku berusaha menyejukan tangisan bayiku yang mulai gelisah dan tak mengenal Ayahnya. Aku tak berdaya untuk mengajarinya berbicara. Aku pernah melihat bayi mungil dalam pelukan orang tuannya. Mereka mengajarinya menyebut "MAMA" setelah itu " PAPA" tapi bagaimana?

Dua tahun berlalu, rasa putus asa pun timbul dari hatiku. Aku memutuskan untuk menceraikan suamiku. Aku merasa menjadi perempuan bodoh yang selalu menunggu harapan yang tak pernah terjawab. Hanya cita-cita yang mencuakkan mimpi-mimpi yang tenggelam dalam kesedihan yang pahit. Dalam hatiku sangat menangis, melupakan seorang suami yang amat aku cintai adalah kepedihan. Ketika orang merasa tua dia selalu mengingat semua kenangan-kenangan yang pernah ia lalui. Tapi sekarang, usiaku masih muda aku berharap ada seorang pria yang tulus mencintaiku dan anakku. Aku butuh kasih sayang dari seorang suami yang serius. Aku tak sanggup menjadi dedaunan kering yang terkulai dan terinjak-injak tanpa daya.

Ada satu hal yang sangat menguatkan prisipku untuk menceraikan Frenky. Dia adalah sahabatku Vinno. Dia menjadi lumbung curhatku selam suamiku meninggalkan aku. Aku merasa nyaman setiap ku ceritakan semua keluh kesahku. Sampai suatu ketika, Vinno terus mendesakku untuk segera menceraikan pria tak bertanggung jawab seperti Frenky.

Hadirnya Vinno seperti malaikat bagiku. Ditengah rasa kehilangan yang begitu pahit, aku melihat wajah anakku yang lucu yang tentu sangat membutuhkan seorang ayah sebagai imam keluarga. Dengan harapan itu, ku bulatkan tekat untuk meceraikan suamiku. Itupun dipertegas oleh keputusan Vinno yang ternyata mencintaikku. Dia siap menerimaku apa adannya, perhatiannya pada putraku sangat luar biasa. Aku kagum pada sosok Vinno walau sebenarnya aku tidak percaya lagi pada kata cinta.

Aku dan Vinno pun menjalin hubungan cinta itu. Setiap hari kami selalu bersama, ketulusan Vinno kembali menguatkan dan membersihkan hatiku dari noda yang amat lekat dalam perasaan. Vinno mengajakku bertemu dengan orang tuannya, merekapun tampak cerah melihat kehadiranku bersama Vinno. Apa lagi putraku yang sudah sangat akrab dan menganggapnya sebagai seorang Ayah.

Hubungan kamipun semakin erat, sampai suatu malam aku siap menyerahkan semua yang ku miliki untuk Vinno. Cumbuan hangat ku rasakan darinya, dia sangat luar biasa. Aku sangat terlarut dalam cintannya, ya dialah sosok suami yang amat ku kagumi. Aku tidak perduli pada keadaan apapun asal tetap bersama Vinno. Indah matannya, lembut perhatiannya, serta tutur bahasanya yang membuat seluruh badanku enggan untuk menepis keberadaannya.

Hubungan kami berlangsung begitu indah. Tanpa kami sadari ternyata aku kembali mengandung. Aku sangat bangga walau status aku dan Vinno hanya sebatas pacar. Aku tidak memberitahu kedaanku pada Vinno, semua itu karena bahasa Vinno yang akan menikahiku dalam waktu dekat. Aku ingin memberikannya kejutan atas kehamilanku.

Haripun berganti, rasa riang terus terngiang ketika Vinno akan menggendong bayi munggil yang berada di perutku. Vinnopun mengajakku bertemu, aku di ajak bertemu dengan keluargannya. Betapa terkejut hatiku melihat wajah ibu yang dulu selalu memberiku belaian dengan kata-kata pujian. Melihat sikap orang tuannya, Vinno mengajakku ke suatu tempat yang sepi. Di sana ia bercerita kalau dia baru jujur mengatakan bahwa aku adalah seorang janda dengan satu anak. Keluarganya tidak bisa menerima keadaanku, apalagi mereka menilaiku sebagai seorang perempuan hina yang ditinggalkan suami.

Mereka menilaiku sebagai perempuan nakal. Kesimpulan itu sungguh mengejutkan semua perasaanku. Apalagi aku tahu bahwa aku sudah hamil. Aku  membayangkan semua perkataan dan penilaian orang tua Vinno. Aku sangat sedih, air mataku menetes bersama air yang membuat dedaunan merunduk layu. Ingin rasanya aku berlari jauh dan tidak mengecewakan Vinno. Tapi, rahimku telah siap menunggu marga Vinno melekat dalam namannya. Dengan harapan Vinno memiliki pendapat dan bisa bertidak positif, akupun menceritakan kehamilanku padanya. Dia tampak riang sambil memberkan pelukan hangat padaku. Di sana aku tampak begitu kuat walau suasana keluarganya tidak menghendaki keberadaanku.

Bunga-bunga mekar di pagi hari, aku menatapnya setiap pagi sampai warnanya berubah menjadi kecoklatan. Ku tatatap telpon gengamku dan menghubunginya. Namun, nomornya tidak aktif lagi. Dia seperti menghilang ditelan bumi. Rasa benci dan cinta bercampur aduk, aku tidak bisa menyalahkannya tapi di satu sisi dia harus mempertanggungjawabkan kehamilanku ini. Ingin sekali aku bertemu dengan ke luargannya. Tapi, rasa malu  menghentikan langkahku untuk mencarinya. Aku sangat mencintainya dengan tulus.

Semakin dia tidak ada aku malah semakin mencintainya. Rasa yang ku tuai bersama hujan deras ini membekukan hatiku yang sesungguhnya terlarut dalam kesedihan. Ku panggil-panggil, ku buai lembut wajahmu yang terpampang di samping ranjangku. Masih ku cium harum badanmu bersama udara. Tengkuk ku masih merasakan rayapan bibirmu yang membuat sekujur tubuhku bergetar. Ku teringat lagi tentang mata hangatmu yang terpejam dan harum nafasmu yang menerawang pori-pori hasrat bersamamu.

Rasa cinta yang tumbuh kian dalam itu memaksaku mencarimu dari sahabat-sahabatmu. Namun, dunia selalu memihak pada perih ku, tak satupun kabar yang menunjukan persembunyianmu. Dalam hatiku bicara tentang perasaanmu yang ku ragukan. Tangisan kumbang-kumbang, rayapan suara adzan dikala petang datang merangkul dan meremas isi hatiku dalam pasungan yang tak berharga.

Sering ku panggili namamu ketika ku makan, aku teringat suapan serta sentuhan jemarimu menghapus tetesan hujan yang membasahi keningku. Ku teringat ketika dagumu menempe dipundakku dan bercerita tentang harmoni. Tanpa ragu aku terbuai merasakan kehangatan bahasa-bahasa cinta yang kau taburkan. Ingin rasanya aku kabarkan semua pada dunia agar orang melihat cintaku bukan dari keterpurukan ini. Aku jga manusia yang membutuhkan cinta sejati. Kenapa saat aku terjatuh dan membutuh topangan, hadirnya Vinno malah membuatku semakin terjatuh menjadi keping-keping yang sulit ku rangakai.

Aku tak berdaya menghadapi semua ini. Aku juga tak ingin melihat Vinno terus-menerus tersiksa dalam kebimbangan. Aku memutuskan untuk mengugurkan buah hatiku bersama Vinno. Aku mengira Vinno akan menahanku untuk mengugurkannya tapi malah sebaliknya dia tersenyum seakan tidak perduli pada keadaan ku yang begitu perih.

Semenjak kejadian aborsi aku sering melamun, aku sering membayangkan bayiku dan tawa canda antara kami. Namun, kali ini aku ingin bicara pada dunia bahwa aku tidak sendiri dalam kesepian. Masih banyak di antara mereka yang sempat menangisi cintanya. Aku akhirnya mengiklaskan kepergian Vinno dan memilih untuk menjaga buah hatiku yang paling kusayang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar