CERPEN

Selasa, 15 November 2011

CERPEN "Govin, Maafkan Ibu"


Kamar mini empat per empat, televisi berwarna 21 in dan ranjang tampak sepi. Pakaian mahal, sepatu, serta parfum mahal tersusun rapi di lemari mini. Lima sampai sepuluh kali harus membersihkan daki-daki yang menempel di sekujur tubuh yang dulu menjadi mahkota. Teringat mata-mata memandang penuh pesona, bergairah, dan terpaksa bagian-bagian yang dulu di kenal amat tabu menjadi rezeki yang bertolak belakang dengan batin.
Merry, itu nama samaran yang dinobatkan padanya. Wajahnya amat manis, bibirnya mekar anggun, dengan bola mata yang membuat orang terhipnotis untuk segera berjabat tangan dan merayunya ke kamar empat per empat itu. Rupiah pun menjadi tanda berakhirnya cinta satu malam itu. Ciuman di pipi, di bibir, di leher terasa seperti ludah-ludah. Bahkan Merry takut mengenal atau berkenalan lagi dengan Tuhannya. Tak jarang Merry menangis setelah sepasang mata berjalan meninggalkannya yang sedang terbaring lesu di atas ranjang.
Matahari pagi membangunkannya, ia mengebas-ngebas bantal, menyemprotkan pengharum ruangan. Berdiri memandang kota dari lantai tiga hotel berbintang. Badang terasa nyilu amat lelah. Handuk berwarna pink menutupi separuh badannya.  Semburan air berbaur bersama cahaya lampu, merayap perlahan membasahi lekukan hidungnya yang mancung. Sesekali bibirnya yang merah terbuka sambil menutup matannya. Dari sudut mata, Merry bertengkar dengan hatinya. Sabun cream membusa di pundaknya.
Otak Merry menampung sejuta memori yang setiap hari tersimpan menjadi file-file hitam di kepalanya. Tak ada jawaban selain mengurai air mata. Teringat ketika ia berdiri di depan pintu kamarnya, orang tua dan muda satu persatu melewatinya. Ada yang menyapa “Hay” ada juga yang melihat betisnya, payudaranya. Bergantian pria hidung belang merapat bernegosiasi dengan tenang. Mereka tidak bicara tentang cinta, mereka tidak bicara tentang kasih sayang padannya. Mereka bicara tentang harga badannya yang mulus.
Merry hanya bisa tersungkur di atas ubin yang licin dengan gumpalan-gumpalan busa yang merayap dari badannya. Gayung tercampakkan dari tangannya.
“Mah! Kalau Govin Besar, Govin mau jadi penyanyi ya, Mah! Govin janji mau belajar.... tapi minta uang dulu .....”  suara mengaung dari Govin putranya.
Merry merundukkan kepalanya, dari ujung mata butiran air menggelembung memberi warna merah pada bola matanya. Merry tersenyum haru.
“Muaachh....love mama...” Ciuman hangat dari Govin.
Jantung Merry semakin kencang. Ia berdiri dan mengguyurkan air ke badannya yang semakin dingin. Handuk pink kembali mengakhiri bayangannya. Merry kembali mengambil rok mini dan peralatan kosmetiknya. Dari dalam tasnya, ia mengambil foto Govin lalu menempelnya di cermin.
“Govin, maafkan mama!” bibir Merry bergetar.
Kata itulah yang memotivasi dendam dalam hati Merry. Ia mengusapkan lipstik dan mengingat kecupan pertamanya ketika ia masih berusia 16 tahun. Ia menyisir rambutnya, ia teringat seorang pria membelai mesranya enam tahun silam. Di bangku SMA yang amat ia cintai, Merry adalah gadis yang anggun dan pintar. Enam tahun silam menjadi awal dari dunia baru yang di gelutinya. Dengan penuh dendam, ia marah pada wajahnya yang terpampang di layar cermin. Tangannya yang masih memegang sebatang lipstik mengarah ke wajahnya di cermin.
“PELACUR”  
Cinta itu munafik Govin. Maafkan mama tidak pernah bercerita tentang papamu. Dia itu iblis! Govin.... buktikan sama semua orang, walau Govin hanya anak pelacur ini. Govin harus menjadi pegawai negeri.... kamu akan berhasil nak! Biarkan orang bicara apa tentang mama! Hinaan yang papamu lakukan ini tak akan pernah mama lupakan!...mama sayang Govin!” Merry bicara dalam hatinya.
Cinta pertama yang menyentuh Merry enam tahun silam menjadi mimpi buruk. Pria tampan bernama Yongky itu adalah cinta sejati Merry. Di SMA mereka adalah pasagan yang serasi, setiap hari Yongky membelikannya makanan, memujanya dengan kata-kata manis, membelai rambut dan memuji senyumannya.
Sampai pada suatu malam, Yongky menjemputnya. Hujan deras pun menyerbu perjalanan itu. Petir terus menyambar dengan teriakan-teriakan. Keduanya berteduh di sebuah kos-kosan.
“Yank! Tidur aja dulu, nanti kalau hujannya reda baru ku antar pulang!” Perhatian Yongky sambil mengambilkan bantal.
Merry hanya menjawab dengan senyuman. Merry membaringkan badannya di atas tilam busa itu. Hujan semakin deras, gemuruh petir dan kilat semakin memaksa angin untuk menerpa kencang sudut-sudut kamar. Merry sangat takut, ia mengambil selimut dan menutup pandangannya malam itu. Entah kenapa dengan malam itu, petir yang terus bersahutan memaksa listrik untuk padam. Semua menjadi gelab. Hanya serpihan cahaya dari kilat yang menjadi pandangannya.
“Yank!....Yank!!!” Merry takut.
Ternyata Yongky sudah berada tepat di atas badannya. Merry gelisah, Merry terus mendorong badang Yongky yang menindihnya. Kedua tangan Merry di pegang erat. Dari mulut Yongky tercipta butiran-butiran rayuan. Merry pun terhanyut dan terdiam.
“Jangan, Ky!” Merry menangis.
“He...tidak ada yang akan mendengar kita! Di sini hanya ada kita berdua” jawab Yongky sambil memaksakan bibirnya untuk menempel di bibir Merry.
Reflek Merry mendarat di pipi Yongky. Tamparan itu begitu keras disahut tangisan Merry. Tamparan itu membuat Yongky marah. Yongky mengacam dan memukul wajah Merry bertubi-tubi.
“Lebih baik kamu diam! DiAAAAAAAM!” teriak Yongky di telinga Merry.
Merry tetap berontak, terus berusaha untuk terlepas dari tindihan Yongky yang semakin merapat. Tendangan Merry mendarat di perut Yongky.  Merry terlepas dari tindihan itu. Malam itu hujan semakin deras, baru saja Merry mengangkat badannya yang lemah. Kepalan tangan mendarat tepat di pipi Merry. Semua menjadi gelab, sunyi, hanya suara-suara yang mengambang dalam suasana yang perih terasa. Pandangan Merry pun hilang bersama tangisan hujan dan potret petir yang terus menjadi saksi.
Lima bulan berlalu, perut Merry telah berisi janin. Merry begitu marah jika melihat perutnya mengembung. Terkadang ia memukul perutnya, namun nurani sebagai seorang ibu tak bisa terlepas darinya. Walau menangis, ia terpaksa mengusap perut itu dengan kasih sayang. Yongky tak pernah datang padanya. Bahkan, untuk melihat wajahnya pun sudah tidak mungkin. Yongky telah pergi jauh dari kota ini.
Sembilan bulan menggendong perut, akhirnya Govin lahir.  Gunjingan tetangga tentang Merry menjadi tangis. Apa lagi sindiran orang tuanya yang terus memojokannya telah mempermalukan keluarga. Banyak orang memanggil Govin sebagai anak haram. Akhirnya, Merry kabur dari rumah dan memilih untuk hidup merantau.
Tarikan nafas Merry menyelesaikan lamunannya. Kecantikannya terpancar pagi itu, sambil mengucap maaf dalam hatinya. Ia keluar dengan busana mini dan berdiri di depan pintu hotel dan terus menunggu pembeli badannya yang anggun. Entah sampai kapan, dan itu hanya akan menjadi pertanyaan dan cita-cita Merry seorang Pramuria yang tak berdaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar