Kamar
mini empat per empat, televisi berwarna 21 in dan ranjang tampak sepi. Pakaian
mahal, sepatu, serta parfum mahal tersusun rapi di lemari mini. Lima sampai
sepuluh kali harus membersihkan daki-daki yang menempel di sekujur tubuh yang
dulu menjadi mahkota. Teringat mata-mata memandang penuh pesona, bergairah, dan
terpaksa bagian-bagian yang dulu di kenal amat tabu menjadi rezeki yang
bertolak belakang dengan batin.
Merry, itu nama samaran yang
dinobatkan padanya. Wajahnya amat manis, bibirnya mekar anggun, dengan bola
mata yang membuat orang terhipnotis untuk segera berjabat tangan dan merayunya
ke kamar empat per empat itu. Rupiah pun menjadi tanda berakhirnya cinta satu
malam itu. Ciuman di pipi, di bibir, di leher terasa seperti ludah-ludah.
Bahkan Merry takut mengenal atau berkenalan lagi dengan Tuhannya. Tak jarang
Merry menangis setelah sepasang mata berjalan meninggalkannya yang sedang
terbaring lesu di atas ranjang.
Matahari
pagi membangunkannya, ia mengebas-ngebas bantal, menyemprotkan pengharum ruangan.
Berdiri memandang kota dari lantai tiga hotel berbintang. Badang terasa nyilu
amat lelah. Handuk berwarna pink menutupi
separuh badannya. Semburan air berbaur
bersama cahaya lampu, merayap perlahan membasahi lekukan hidungnya yang
mancung. Sesekali bibirnya yang merah terbuka sambil menutup matannya. Dari
sudut mata, Merry bertengkar dengan hatinya. Sabun cream membusa di pundaknya.
Otak
Merry menampung sejuta memori yang setiap hari tersimpan menjadi file-file
hitam di kepalanya. Tak ada jawaban selain mengurai air mata. Teringat ketika
ia berdiri di depan pintu kamarnya, orang tua dan muda satu persatu
melewatinya. Ada yang menyapa “Hay” ada juga yang melihat betisnya,
payudaranya. Bergantian pria hidung belang merapat bernegosiasi dengan tenang.
Mereka tidak bicara tentang cinta, mereka tidak bicara tentang kasih sayang
padannya. Mereka bicara tentang harga badannya yang mulus.
Merry
hanya bisa tersungkur di atas ubin yang licin dengan gumpalan-gumpalan busa
yang merayap dari badannya. Gayung tercampakkan dari tangannya.
“Mah! Kalau Govin
Besar, Govin mau jadi penyanyi ya, Mah! Govin janji mau belajar.... tapi minta
uang dulu .....” suara mengaung dari Govin putranya.
Merry
merundukkan kepalanya, dari ujung mata butiran air menggelembung memberi warna
merah pada bola matanya. Merry tersenyum haru.
“Muaachh....love
mama...” Ciuman hangat dari Govin.
Jantung
Merry semakin kencang. Ia berdiri dan mengguyurkan air ke badannya yang semakin
dingin. Handuk pink kembali
mengakhiri bayangannya. Merry kembali mengambil rok mini dan peralatan
kosmetiknya. Dari dalam tasnya, ia mengambil foto Govin lalu menempelnya di cermin.
“Govin, maafkan mama!” bibir
Merry bergetar.
Kata
itulah yang memotivasi dendam dalam hati Merry. Ia mengusapkan lipstik dan mengingat kecupan pertamanya
ketika ia masih berusia 16 tahun. Ia menyisir rambutnya, ia teringat seorang
pria membelai mesranya enam tahun silam. Di bangku SMA yang amat ia cintai,
Merry adalah gadis yang anggun dan pintar. Enam tahun silam menjadi awal dari dunia
baru yang di gelutinya. Dengan penuh dendam, ia marah pada wajahnya yang
terpampang di layar cermin. Tangannya yang masih memegang sebatang lipstik mengarah ke wajahnya di cermin.
“PELACUR”
“Cinta itu munafik Govin. Maafkan mama tidak
pernah bercerita tentang papamu. Dia itu iblis! Govin.... buktikan sama semua
orang, walau Govin hanya anak pelacur ini. Govin harus menjadi pegawai
negeri.... kamu akan berhasil nak! Biarkan orang bicara apa tentang mama!
Hinaan yang papamu lakukan ini tak akan pernah mama lupakan!...mama sayang
Govin!” Merry bicara dalam hatinya.
Cinta
pertama yang menyentuh Merry enam tahun silam menjadi mimpi buruk. Pria tampan bernama
Yongky itu adalah cinta sejati Merry. Di SMA mereka adalah pasagan yang serasi,
setiap hari Yongky membelikannya makanan, memujanya dengan kata-kata manis,
membelai rambut dan memuji senyumannya.
Sampai
pada suatu malam, Yongky menjemputnya. Hujan deras pun menyerbu perjalanan itu.
Petir terus menyambar dengan teriakan-teriakan. Keduanya berteduh di sebuah
kos-kosan.
“Yank! Tidur aja dulu,
nanti kalau hujannya reda baru ku antar pulang!” Perhatian
Yongky sambil mengambilkan bantal.
Merry
hanya menjawab dengan senyuman. Merry membaringkan badannya di atas tilam busa
itu. Hujan semakin deras, gemuruh petir dan kilat semakin memaksa angin untuk
menerpa kencang sudut-sudut kamar. Merry sangat takut, ia mengambil selimut dan
menutup pandangannya malam itu. Entah kenapa dengan malam itu, petir yang terus
bersahutan memaksa listrik untuk padam. Semua menjadi gelab. Hanya serpihan
cahaya dari kilat yang menjadi pandangannya.
“Yank!....Yank!!!” Merry
takut.
Ternyata
Yongky sudah berada tepat di atas badannya. Merry gelisah, Merry terus
mendorong badang Yongky yang menindihnya. Kedua tangan Merry di pegang erat. Dari
mulut Yongky tercipta butiran-butiran rayuan. Merry pun terhanyut dan terdiam.
“Jangan, Ky!” Merry
menangis.
“He...tidak ada yang
akan mendengar kita! Di sini hanya ada kita berdua” jawab
Yongky sambil memaksakan bibirnya untuk menempel di bibir Merry.
Reflek
Merry mendarat di pipi Yongky. Tamparan itu begitu keras disahut tangisan
Merry. Tamparan itu membuat Yongky marah. Yongky mengacam dan memukul wajah
Merry bertubi-tubi.
“Lebih baik kamu diam!
DiAAAAAAAM!” teriak Yongky di telinga Merry.
Merry
tetap berontak, terus berusaha untuk terlepas dari tindihan Yongky yang semakin
merapat. Tendangan Merry mendarat di perut Yongky. Merry terlepas dari tindihan itu. Malam itu
hujan semakin deras, baru saja Merry mengangkat badannya yang lemah. Kepalan
tangan mendarat tepat di pipi Merry. Semua menjadi gelab, sunyi, hanya
suara-suara yang mengambang dalam suasana yang perih terasa. Pandangan Merry
pun hilang bersama tangisan hujan dan potret petir yang terus menjadi saksi.
Lima
bulan berlalu, perut Merry telah berisi janin. Merry begitu marah jika melihat
perutnya mengembung. Terkadang ia memukul perutnya, namun nurani sebagai
seorang ibu tak bisa terlepas darinya. Walau menangis, ia terpaksa mengusap
perut itu dengan kasih sayang. Yongky tak pernah datang padanya. Bahkan, untuk
melihat wajahnya pun sudah tidak mungkin. Yongky telah pergi jauh dari kota
ini.
Sembilan
bulan menggendong perut, akhirnya Govin lahir.
Gunjingan tetangga tentang Merry menjadi tangis. Apa lagi sindiran orang
tuanya yang terus memojokannya telah mempermalukan keluarga. Banyak orang
memanggil Govin sebagai anak haram. Akhirnya, Merry kabur dari rumah dan
memilih untuk hidup merantau.
Tarikan
nafas Merry menyelesaikan lamunannya. Kecantikannya terpancar pagi itu, sambil
mengucap maaf dalam hatinya. Ia keluar dengan busana mini dan berdiri di depan
pintu hotel dan terus menunggu pembeli badannya yang anggun. Entah sampai
kapan, dan itu hanya akan menjadi pertanyaan dan cita-cita Merry seorang
Pramuria yang tak berdaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar