CERPEN

Senin, 28 November 2011

Cerpen "Melanik Si Gadis Gagu"



Setiap detik aku selalu bertanya tentang keadilan, entah itu pada orang tuaku, sahabatku, saudaraku, sampai pada Tuhan yang menciptakan ku begini. Aku sebenarnya tidak marah pada takdirku atau “gagu” panggilan ayahku. Aku menangis karena dunia seolah menolak keceriaanku. Orang di sekitarku mungkin merasa biasa memanggilku “gagu” , saat itu aku bisa terima. Sebab, sedikit pun aku tak bisa mengelak dan berusaha menyebutkan kalimat dengan baik seperti orang lain. 

Aku sunggu tidak punya kekuatan untuk mengelak. Saat aku disuruh ke warung, mencuci piring, mengemas rumah. Mereka lupa pada Melanik. Mereka hanya ingat “gagu” ciri khas yang membuatku terkenal di kompek.  Ketika aku melintas di warung kompleks, aku sering menguping pembicaraan mereka. Mereka bercerita tentang kecantikanku namun mereka mengaitkan kecantikanku dengan penyesalan.

Sayang sekali dia Gagu!” kata mereka padaku.

Terkadang siulan para pria yang melihat fisikku, mereka bersiul kagum. Baru saja aku tersenyum seorang dari mereka berbicara.

“Hei...itu Melanik, dia tu gagu alias gagap!” sambil tertawa.

Serentak darahku terasa deras mengalir.  Langkahku ku ayun keras menghindari suara mereka yang menertawaiku kecang. Dari sudut mataku mengalir air mata doa-doa dan ketidakberdayaanku. Aku harus bersifat iklas walau hatiku sangat meradang pada takdir ku. Cercaan manusia yang tak bersahabat sampai pada kedua orang tuaku. 

“Kenapa Tuhan memberikan kita anak yang gagu?”  Bapak bicara pada ibu.

“Huss...kita harus bersyukur Pak! Kita masih dikaruniai anak!”  kata ibu berbisik.

“Anak gagu? Mana ada yang mau? Sudah gagu bodo! Kita seperti sedang memelihara pembantu saja!”  bapak tampak kesal.

“Bapak!!! Melanik titipan Allah pada kita! Dengan bicara seperti itu sama saja menjelekan ciptaNYA!”  Ibu meneteskan air mata.

“Iya! Bapak tahu! Tapi untuk apa punya anak kalau hanya menjadi perawan tua? Coba lihat anak Merry yang seusiannya! Sudah punya anak! Kita ini sudah tua! Apa kamu tidak mau menimang cucu?”  bapak turut menangis dalam kemarahannya.

Mendengar pembicaraan itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana caranya aku bisa membuat orang tuaku bahagia. Pernah aku berpikir ingin menjual badanku untuk mendapatkan seorang anak. Tapi, aku takut pada dosa dan nasib anakku yang tidak punya orang tua. Semuannya serba salah, apalagi kehidupan ekonomi keluargaku yang sederhana. Orang tuaku hanya bekerja sebagai pengrajin tikar anyam. Pendapatan harian kami hanya cukup untuk makan dan membeli keperluan rumah tangga.

Malam menjanjikanku mimpi buruk yang panjang. Aku membuat penjara untuk diriku sendiri. Aku malu bergaul dengan manusia, berdiam diri di rumah adalah jawaban yang paling aman bagi batinku. Aku melihat wajahku di cermin, menyisir rambutku yang panjang, menjalin persahabatan sejati pada bayanganku yang bisa ku ajak bicara setiap saat. Ku ucapkan beberapa kata pada bayanganku. Tapi, wajah yang terpampang dalam cermin memerah dan meneteskan air mata. Ia juga marah pada lidahku yang pendek. Tak ada satu katapun yang berhasil ku ucapkan dengan sempurna. Ternggorokanku tersasa perih setiap hari berusaha mengeluarkan kata-kata seperti orang lain. Aku tidak mau di bilang “gagu”, aku tidak mau dibilang perawan tua, tidak laku seperti tudingan ayahku. Ku tarik lidahku kasar dan berteriak sekencang-kencangnya. Wajah dicermin menatapku dengan air mata dan isak tangis yang dalam. 

“Ya Tuhan! Aku akan tetap menjadi “GAGU”!”  aku bersujud.

Setiap hari selalu begitu, sudah bertahun-tahun lamanya hidup menikmati penderitaan. Seorang tetangga rumah menawariku pekerjaan di warung padang sebagai tukang cuci piring. Tawaran itu ku terima untuk membantu ekonomi keluargaku. Hari pertama aku sudah begitu sibuk dengan pekerjaanku. Pandangan para pengunjung selalu tertuju padaku, ada beberapa dari pengunjung menanyakan no HP ku. Namun, aku tetap bungkam menutupi kekuranganku walau akhirnya mereka tahu bahwa aku hanya gadis gagu. 

Pukul 23: 00 WIB aku harus membersihkan rumah makan itu. Suara gelas-gelas dan gemercik air menemaniku sendirian. Pemilik rumah makan yang baik hati itu membantuku mengeringkan piring-piring sambil menasihatiku. Rasanya dia adalah penyelamat kegelisahanku serta malaikat yang memberiku hidup baru di luar rumah.  Lampu rumah makan dan jendela tertutup rapat, ku kemasi barang-barang untuk pulang.  Baru saja aku melangkahkan kaki, pria pemilik rumah makan itu menahanku. Ia memelukku dan menciumi leherku dengan ganas. Aku merinding, aku ketakutan, aku tak bisa berteriak, aku hanya bisa menjambak bajunya dan menampar wajahnya. Aku tahu, pria itu mencoba merenggut kesucianku.  Tak ada seorangpun yang mendengar gelisahku, ku sebut-sebut Tuhan yang tempatku mengadu. Hingga lututku menghujam kemaluannya hingga terbaring.

Aku berusaha berlari dari rumah makan itu. Namun, tak ada satu cela pun yang bisa membantuku ke luar. Aku berteriak kencang sampai pintu utama rumah makan itu terbuka dengan sendirinya. Hatiku bersyukur melihat ayahku berdiri tegar di pintu itu. Aku berlari memeluk ayahku dengan kencang.

“Maafkan bapak, Nak!, kamu tahu ibumu mengidap penyakit maag? Bapak terpaksa mengambil uang ini!”  sambil menunyukan segenggam uang.

Aku tak bisa bicara, aku hanya menatap wajah ayahku yang benar-benar polos itu. Air mataku terus mengalir dalam ketakutan. Pria itu menangkap badanku dan menarikku yang terpaksa pasrah demi kebahagiaan orang tuaku. Aku menjual keperawananku pada pria kaya itu.  Ayahku menutup pintu dan pergi meninggalkanku di rumah makan.

Aku melihat ranjang dan bantal yang tersusun rapi. Pria itu membaringkan badanku yang tak lagi sanggup untuk berontak. Aku takut merasakan hal ini, dia tidak pernah ku cintai.  Satu demi satu pakaianku mewakili teriakan isi hatiku. Pelukan, ciuman terus meludahi dan menyebutku sebagai gadis murahan.  Aku sangat lelah, pria itu terbaring dan tertidur di sampingku. Perlahan ku ambil pakaianku dan pergi meninggalkannya. 

Kejadian itu menjadi awal dari hari-hari baruku. Beberapa kali kejadian itu terus berulang. Aku menjadi pelacur demi kebutuhan ekonomi keluargaku. Setiap hari aku tidak lagi menjadi tukang cuci piring. Aku hanya sibuk memoles wajahku dengan bedak serta menghiasi bibirku dengan lipstik dan siap menggoda pria hidung belang.

5 komentar:

  1. Mampir untuk memberi semangat,,
    Lanjutkan menulis... :D

    BalasHapus
  2. ouuukheyy... terima kasih sudah mengunjungi blog ku..heheh senang bisa berteman...

    BalasHapus
  3. Sudah follow blog Jimmy,
    ditunggu follow baliknya ^^

    Mugniar(Bundanya Fiqthiya)
    http://mugniarm.blogspot.com

    BalasHapus
  4. Terus berkarya .. tulisannya unik ^^

    BalasHapus
  5. terima kasih Mugair... senang bisa berteman... Yun saya akan kunjungi blog Anda.... hhaha tulisan saya unik? hahha.....

    BalasHapus