Setiap
detik aku selalu bertanya tentang keadilan, entah itu pada orang tuaku,
sahabatku, saudaraku, sampai pada Tuhan yang menciptakan ku begini. Aku
sebenarnya tidak marah pada takdirku atau “gagu” panggilan ayahku. Aku menangis
karena dunia seolah menolak keceriaanku. Orang di sekitarku mungkin merasa
biasa memanggilku “gagu” , saat itu aku bisa terima. Sebab, sedikit pun aku tak
bisa mengelak dan berusaha menyebutkan kalimat dengan baik seperti orang lain.
Aku
sunggu tidak punya kekuatan untuk mengelak. Saat aku disuruh ke warung, mencuci
piring, mengemas rumah. Mereka lupa pada Melanik. Mereka hanya ingat “gagu”
ciri khas yang membuatku terkenal di kompek.
Ketika aku melintas di warung kompleks, aku sering menguping pembicaraan
mereka. Mereka bercerita tentang kecantikanku namun mereka mengaitkan
kecantikanku dengan penyesalan.
“Sayang sekali dia Gagu!” kata mereka
padaku.
Terkadang
siulan para pria yang melihat fisikku, mereka bersiul kagum. Baru saja aku
tersenyum seorang dari mereka berbicara.
“Hei...itu Melanik, dia tu gagu
alias gagap!” sambil tertawa.
Serentak
darahku terasa deras mengalir. Langkahku
ku ayun keras menghindari suara mereka yang menertawaiku kecang. Dari sudut
mataku mengalir air mata doa-doa dan ketidakberdayaanku. Aku harus bersifat
iklas walau hatiku sangat meradang pada takdir ku. Cercaan manusia yang tak
bersahabat sampai pada kedua orang tuaku.
“Kenapa Tuhan memberikan kita anak
yang gagu?” Bapak bicara pada ibu.
“Huss...kita harus bersyukur Pak! Kita
masih dikaruniai anak!” kata ibu berbisik.
“Anak gagu? Mana ada yang mau? Sudah
gagu bodo! Kita seperti sedang memelihara pembantu saja!” bapak tampak kesal.
“Bapak!!! Melanik titipan Allah
pada kita! Dengan bicara seperti itu sama saja menjelekan ciptaNYA!” Ibu meneteskan air mata.
“Iya! Bapak tahu! Tapi untuk apa
punya anak kalau hanya menjadi perawan tua? Coba lihat anak Merry yang
seusiannya! Sudah punya anak! Kita ini sudah tua! Apa kamu tidak mau menimang
cucu?” bapak turut
menangis dalam kemarahannya.
Mendengar
pembicaraan itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana caranya aku bisa membuat
orang tuaku bahagia. Pernah aku berpikir ingin menjual badanku untuk
mendapatkan seorang anak. Tapi, aku takut pada dosa dan nasib anakku yang tidak
punya orang tua. Semuannya serba salah, apalagi kehidupan ekonomi keluargaku
yang sederhana. Orang tuaku hanya bekerja sebagai pengrajin tikar anyam.
Pendapatan harian kami hanya cukup untuk makan dan membeli keperluan rumah
tangga.
Malam
menjanjikanku mimpi buruk yang panjang. Aku membuat penjara untuk diriku
sendiri. Aku malu bergaul dengan manusia, berdiam diri di rumah adalah jawaban
yang paling aman bagi batinku. Aku melihat wajahku di cermin, menyisir rambutku
yang panjang, menjalin persahabatan sejati pada bayanganku yang bisa ku ajak
bicara setiap saat. Ku ucapkan beberapa kata pada bayanganku. Tapi, wajah yang
terpampang dalam cermin memerah dan meneteskan air mata. Ia juga marah pada
lidahku yang pendek. Tak ada satu katapun yang berhasil ku ucapkan dengan
sempurna. Ternggorokanku tersasa perih setiap hari berusaha mengeluarkan
kata-kata seperti orang lain. Aku tidak mau di bilang “gagu”, aku tidak mau
dibilang perawan tua, tidak laku seperti tudingan ayahku. Ku tarik lidahku
kasar dan berteriak sekencang-kencangnya. Wajah dicermin menatapku dengan air
mata dan isak tangis yang dalam.
“Ya Tuhan! Aku akan tetap menjadi “GAGU”!”
aku bersujud.
Setiap
hari selalu begitu, sudah bertahun-tahun lamanya hidup menikmati penderitaan.
Seorang tetangga rumah menawariku pekerjaan di warung padang sebagai tukang
cuci piring. Tawaran itu ku terima untuk membantu ekonomi keluargaku. Hari pertama
aku sudah begitu sibuk dengan pekerjaanku. Pandangan para pengunjung selalu
tertuju padaku, ada beberapa dari pengunjung menanyakan no HP ku. Namun, aku
tetap bungkam menutupi kekuranganku walau akhirnya mereka tahu bahwa aku hanya
gadis gagu.
Pukul
23: 00 WIB aku harus membersihkan rumah makan itu. Suara gelas-gelas dan
gemercik air menemaniku sendirian. Pemilik rumah makan yang baik hati itu
membantuku mengeringkan piring-piring sambil menasihatiku. Rasanya dia adalah
penyelamat kegelisahanku serta malaikat yang memberiku hidup baru di luar
rumah. Lampu rumah makan dan jendela
tertutup rapat, ku kemasi barang-barang untuk pulang. Baru saja aku melangkahkan kaki, pria pemilik
rumah makan itu menahanku. Ia memelukku dan menciumi leherku dengan ganas. Aku
merinding, aku ketakutan, aku tak bisa berteriak, aku hanya bisa menjambak
bajunya dan menampar wajahnya. Aku tahu, pria itu mencoba merenggut kesucianku. Tak ada seorangpun yang mendengar gelisahku,
ku sebut-sebut Tuhan yang tempatku mengadu. Hingga lututku menghujam
kemaluannya hingga terbaring.
Aku
berusaha berlari dari rumah makan itu. Namun, tak ada satu cela pun yang bisa
membantuku ke luar. Aku berteriak kencang sampai pintu utama rumah makan itu
terbuka dengan sendirinya. Hatiku bersyukur melihat ayahku berdiri tegar di
pintu itu. Aku berlari memeluk ayahku dengan kencang.
“Maafkan bapak, Nak!, kamu tahu
ibumu mengidap penyakit maag? Bapak terpaksa mengambil uang ini!” sambil menunyukan segenggam uang.
Aku
tak bisa bicara, aku hanya menatap wajah ayahku yang benar-benar polos itu. Air
mataku terus mengalir dalam ketakutan. Pria itu menangkap badanku dan menarikku
yang terpaksa pasrah demi kebahagiaan orang tuaku. Aku menjual keperawananku
pada pria kaya itu. Ayahku menutup pintu
dan pergi meninggalkanku di rumah makan.
Aku
melihat ranjang dan bantal yang tersusun rapi. Pria itu membaringkan badanku
yang tak lagi sanggup untuk berontak. Aku takut merasakan hal ini, dia tidak
pernah ku cintai. Satu demi satu
pakaianku mewakili teriakan isi hatiku. Pelukan, ciuman terus meludahi dan
menyebutku sebagai gadis murahan. Aku
sangat lelah, pria itu terbaring dan tertidur di sampingku. Perlahan ku ambil
pakaianku dan pergi meninggalkannya.
Kejadian
itu menjadi awal dari hari-hari baruku. Beberapa kali kejadian itu terus berulang.
Aku menjadi pelacur demi kebutuhan ekonomi keluargaku. Setiap hari aku tidak
lagi menjadi tukang cuci piring. Aku hanya sibuk memoles wajahku dengan bedak
serta menghiasi bibirku dengan lipstik dan siap menggoda pria hidung belang.
Mampir untuk memberi semangat,,
BalasHapusLanjutkan menulis... :D
ouuukheyy... terima kasih sudah mengunjungi blog ku..heheh senang bisa berteman...
BalasHapusSudah follow blog Jimmy,
BalasHapusditunggu follow baliknya ^^
Mugniar(Bundanya Fiqthiya)
http://mugniarm.blogspot.com
Terus berkarya .. tulisannya unik ^^
BalasHapusterima kasih Mugair... senang bisa berteman... Yun saya akan kunjungi blog Anda.... hhaha tulisan saya unik? hahha.....
BalasHapus