CERPEN

Selasa, 29 November 2011

Tua Akan Menjemput Kematian


Saat aku di dalam rahim Ibuku. Aku hanya mendegar sedikit tantang dunia. Aku terus terpejam menikmati makanan-makanan yang enak dari Ibuku. Ketika aku terlahir kedunia ini, aku telanjang dan terbalut darah ketuban dari Ibu. Dia menangis namun tersenyum. Ibu merangkulku dan menyusuiku dengan kasih sayang. Ketika Ibu sedang lelah menyusuiku, Ayah, Cinta sejati Ibuku mencucikan popokku. Aku hanya bisa membalas dengan senyum termanis yang membuat mereka sering menciumi pipiku. Sesekali, air seniku meluncur tanpa perasaan. Tapi kasih sayang Ibu dan Ayahku terus datang, ketika mereka membedaki badanku, mengolesi badanku dengan minyak kayu putih agar selalu hangat. Bahkan, terkadang mereka harus meminjam uang saat aku sakit. Mereka melakukan apa saja demi aku.

Saat aku masih bayi, mama dan papa mengajariku mengucapkan beberapa kata "PAPA....MAMA" mereka ingin aku menyebut nama mereka. Terlihat keceriaan ketika pertama kali aku bisa menyebutkan kata itu. Mereka terus mengulang-ngulang walaupun sebenarnya aku lelah cuma menyebutkan dua kata itu. Aku sering pura-pura menangis, karena aku tahu kalau mama mendengarku menangis dia akan menggendongku dan menyayikan sebuah nada yang merdu. Aku tak pernah bisa mengingat lagu-lagu itu. Entah ciptaan sendiri atau menyanyikan lagu-lagi dari penyanyi terkenal. Itulah orang tuaku... mreka selalu sejalan dalam mengurusiku sejak kecil.

Aku pun beranjak menjadi anak kecil, aku sudah bisa bicara walau terkadang tidak jelas terucap. Ibu selalu setia menyetrika pakaianku, memberi sarapan sampai mengantarku ke Taman Kanak-Kanak (TK). Mama tidak pernah merasa lelah menungguku berjam-jam. Sedikit saja ada orang yang menyakitiku, maka mata mama langsung menatap tajam seperti burung elang yang hendak memangsa. Mama sangat sayang padaku begitu juga Papa.

Beranjak dewasa, aku menyelesaikan SMA ku. Aku mulai mengenal dunia luar, aku bergaul dengan begitu banyak warna hidup yang sesungguhnya. Hidup itu abu-abu, terkadang hitam terkadang putih. Beban orang tua semakin berat ketika aku harus menyelesaikan studi di kota yang cukup jauh dari mereka. Hampir setiap hari mama dan papa menelponku untuk menanyakan kabarku. Menanyakan kapan aku makan, aku sudah mandi atau belum, mengingatkanku saat aku harus kuliah dan membekaliku dengan semangat cita-cita yang besar.  Meraka tidak mengekangku bergaul dengan siapapun walau hati mereka selalu dilanda keresahan.

Inilah yang di sebut hidup. Aku selalu menjadi pusat pembicaraan di mana-mana semua berkat orang tuaku yang selalu menyebut namaku dalam doa-doanya. Saat aku jauh, aku teringat bahwa dahulu aku sering sekali melawan orang tuaku, bahkan aku pernah melihat ibuku menangis di dalam kamar setelah mendengar aku marah-marah pada ibuku. Ibu tidak pernah menjawab atau melawan perkataanku. Dia hanya terdiam dan menangis dalam persembunyiannya. Sedikit-demi sedikit ia selalu menyisakan uang belanja untuk ku. Ia resah jika di sini, aku tidak punya uang.

Siang ini aku teringat semua tentang kasih sayang Mama dan Papa. Tatapan kosong ini tertuju pada seorang yang sudah berusia lanjut. Aku teringat, suatu saat nanti orang tuaku akan semakin tua. Satu-per-satu rambut putih akan memenuhi kepala dan kumis papa. Kulit mereka tidak lagi selicin ketika mereka membelaiku waktu aku bayi. Sampai mimpi yang sering datang membuat aku masuk dalam suatu ketakutan. Aku takut suatu saat nanti aku akan hidup sendiri tanpa mereka. Aku mulai gelisah, karena aku tidak berada di samping mereka saat ini. Aku sering menanyakan kabar mereka, saat aku tahu mereka sedang sakit maka hari itu akan menjadi ketakutan yang teramat dalam.

Aku teringat ketika aku sendiri tanpa mereka berati mereka menitipkan kesetiaan mereka untukku dan istriku nanti. Kegelisahan hidup tidak berhenti sampai disini. Aku teringat suatu saat nanti aku juga akan semakin tua, keriput. Apakah anak-anakku akan menjauhiku karena studinya juga? aku berpikir, semakin tua manusia maka semakin hilang kejayaannya. Dia hanya orang tua, dia akan di kucilkan dari para remaja. Tidak ada lagi balapan motor, tidak ada lagi kuliah dan canda tawa. Habis sampai aku tenggelam di dalam tanah yang hanya rela memtrikan namaku di batu nisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar