Ada irama dari balik dinding kamarku. Semakin lama semakin berniat
hati menempelkan daun telinga ke dinding tripleks. Seorang wanita
bernada manja, menjawab tanya rayu seorang kekasih. Padahal ketika itu
aku mendengar si wanita bilang sayang....tapi si pria terus meminta nya
mengulang dengan alasan tidak dengar. Aku bicara dalam hati, ternyata
manusia sering terbodoh-bodoh karena cinta.
Hm....termasuk aku. Dahulu
kekasih sering merayuku dengan bisikan manja, sering ia belikan aku es
krim coklat kesukaan ku. Ia juga sering mengajakku makan dan mencicipi
masakannya yang ku akui enaknya. Apalagi... ketika ia menatapku tajam
sambil menyuapiku seperti anak kecil. Kekasih, aku ingin ia kembali,
sudah lama aku tidak mendengar suara motornya. Di mana ia sekarang
berada, dia yang paling lucu, namun aku meninggalkannya dalam keadaan
tak berdaya.
Aku memang lumbung salah,
melepaskan diri darinya yang sungguh-sungguh. Aku menobatkan diriku
seorang yang kejam. Namun, sisi perihku tak sanggup menahan
penderitaanku ketika harus mencintai dia, suamiku yang memanjakanku
dengan kemewahan.
Masih ku simpan foto kekasihku, aku balut dengan
kain merah, ku simpan di tempat teramat aman. Aku takut debu-debu
menyentuhnya, apa lagi terlihat suamiku. Kekasih meranaku sekarang
berada di mana! Aku tak pernah tahu lagi kabarnya. Jika ada waktu, aku
ingin sekali menyentuh kembali bibirnya yang sering memanjakan aku.
Kehadiran kekasihku membuatku selalu dalam kecemasan dan kegelisahan.
Aku tidak pandai memasak di rumah, suamiku pun jarang sekali berada di
rumah. Namun, aku sangat bahagia apabila suamiku tak pernah kembali lagi
ke rumah. Aku takut pada ranjang-ranjang, aku takut pada barisan batik,
tak pernah sekali pun aku merapikan kancing baju suamiku, tak pernah
sekali pun aku berusaha mengantarnya berangkat dengan doa. Dia suami
pilihan orang tuaku.
Semua karena kebutuhan ekonomi,
aku menjual kasih sayang sang kekasih. Ia ku paksa pergi dengan wajah
pura-pura. Ketika itu .... aku teringat langkah gontai dan punggung yang
membungkuk kesal. Kekasih menolehku penuh rasa, kekasih merelakanku
membencinya. Ia pergi semakin jauh, enggan hati mengejar karena takut
pada keterpurukan dan harapan orang tua ku.
Aku
terpaksa, tidak ada cinta, namun aku tetap menjadi seorang istri bagi
suamiku. Ketika aku tertidur di samping suamiku. Badanku bergetar, aku
takut, dia tak seromantis kekasihku. Suamiku membosankan, kaku dan
sangat berbeda, aku tak suka bau badannya meski ia sering menyemprotkan
parfum. Aku tak suka ketika ia menggunakan celana pendek, aku tak suka
ketika dia menasihatiku, tapi ia suamiku. Sering aku bercerita di kamar
mandi, di sana aku menangis melihat badanku yang ku janjikan untuk
kekasih ku. Aku takut pada kehamilan, aku ingin di perutku ada kekasihku
bukan suamiku.
Di kamar mandi aku menggosok sekujur
tubuhku dengan sabun, aku menggosok gigiku berulang-ulang. Aku tidak
mencintai suamiku. Aku tahu suamiku tahu, ia hanya terdiam melihat
sikapku yang selalu diam menunduk. Mungkin ia jenuh melihatku yang serba
bingung, aku tak berniat membuatkannya secangkir kopi di pagi hari. Di
hadapan tetesan embun aku berkeluh, aku ingin pergi dari suamiku.
Malam tiba memanggil-manggil namaku. Aku berlari dari kamar tidur, aku
berjalan jauh meratapi bintang malam. Aku duduk di sebuah kursi taman,
aku teringat kekasih menciumi keningku, aku mencari bisikan-bisikan
sayang dari kekasih. Aku berteriak, aku memanggil-manggil nama kekasih.
Aku menangis, tak ada kekasih yang romatis, yang selalu merapatkan
badannya memelukku. Kekasih yang mengajarkan semua jemariku untuk
merangkulnya dalam pejaman mata.
Kekasihku, aku tak
pernah tahu sampai kapan penyesalanku mencarimu. Kekasih, rindukan kamu
adalah nafasku. Kekasih...maafkan aku. Ingin ku putar kembali waktu itu,
aku tak pernah mengira bahwa materi tak sekuat kasih sayang. Kekasih,
oh... kekasih...engkau akan menjadi harta paling berharga yang tak bisa
ku miliki. Cinta itu bukan sebuah permainan, gelisahnya hatiku pada
pertimbangan masa lalu yang harus ku tanggung kali ini. Cinta tak pernah
bisa dihargai dengan apa pun, kasih sayang tak pernah sanggup di bayar
dengan materi.
Kekasih, jika esok aku punya anak laki-laki
bersama suamiku. Aku ingin ada wajahmu yang terpancar dari matannya.
Aku tahu tak mungkin lagi bagiku untuk memiliki kamu. Ijinkanlah anakku
kelak memakai namamu, walau suamiku tak pernah tahu arti nama itu. Aku
ingin anakku menjadi kamu, ia akan menyayangiku kelak seperti kamu
dengan tulus menyayangi aku. Mataku memang tak buta, namun aku berusaha
untuk selalu mengosongkan pandanganku ketika berada di pelukan suamiku.
Akan lebih indah rasanya bila aku selalu membayangkan hadirnya kekasih
dalam hari-hari ku.
Ya, Allah. Aku mesih mengharapkan
kelahiran kedua nanti. Jangan pernah kau pisahkan aku darinya. Suamiku
adalah kekasihku walau itu bukan kamu. Kisah ini ku rangkai untuk
mewakili bahasa-bahasa yang terus mengurai tanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar