CERPEN

Jumat, 11 November 2011

Kekasihku, bukan suamiku

Ada irama dari balik dinding kamarku. Semakin lama semakin berniat hati menempelkan daun telinga ke dinding tripleks. Seorang wanita bernada manja, menjawab tanya rayu seorang kekasih. Padahal ketika itu aku mendengar si wanita bilang sayang....tapi si pria terus meminta nya mengulang dengan alasan tidak dengar. Aku bicara dalam hati, ternyata manusia sering terbodoh-bodoh karena cinta.   

Hm....termasuk aku. Dahulu kekasih sering merayuku dengan bisikan manja, sering ia belikan aku es krim coklat kesukaan ku. Ia juga sering mengajakku makan dan mencicipi masakannya yang ku akui enaknya. Apalagi... ketika ia menatapku tajam sambil menyuapiku seperti anak kecil. Kekasih, aku ingin ia kembali, sudah lama aku tidak mendengar suara motornya. Di mana ia sekarang berada, dia yang paling lucu, namun aku meninggalkannya dalam keadaan tak berdaya.

            Aku memang lumbung salah, melepaskan diri darinya yang sungguh-sungguh. Aku menobatkan diriku seorang yang kejam. Namun, sisi perihku tak sanggup menahan penderitaanku ketika harus mencintai dia, suamiku yang memanjakanku dengan kemewahan.

Masih ku simpan foto kekasihku, aku balut dengan kain merah, ku simpan di tempat teramat aman. Aku takut debu-debu menyentuhnya, apa lagi terlihat suamiku. Kekasih meranaku sekarang berada di mana! Aku tak pernah tahu lagi kabarnya. Jika ada waktu, aku ingin sekali menyentuh kembali bibirnya yang sering memanjakan aku. Kehadiran kekasihku membuatku selalu dalam kecemasan dan kegelisahan.

            Aku tidak pandai memasak di rumah, suamiku pun jarang sekali berada di rumah. Namun, aku sangat bahagia apabila suamiku tak pernah kembali lagi ke rumah. Aku takut pada ranjang-ranjang, aku takut pada barisan batik, tak pernah sekali pun aku merapikan kancing baju suamiku, tak pernah sekali pun aku berusaha mengantarnya berangkat dengan doa. Dia suami pilihan orang tuaku.

            Semua karena kebutuhan ekonomi, aku menjual kasih sayang sang kekasih. Ia ku paksa pergi dengan wajah pura-pura. Ketika itu .... aku teringat langkah gontai dan punggung yang membungkuk kesal. Kekasih menolehku penuh rasa, kekasih merelakanku membencinya. Ia pergi semakin jauh, enggan hati mengejar karena takut pada keterpurukan dan harapan orang tua ku.

            Aku terpaksa, tidak ada cinta, namun aku tetap menjadi seorang istri bagi suamiku. Ketika aku tertidur di samping suamiku. Badanku bergetar, aku takut, dia tak seromantis kekasihku. Suamiku membosankan, kaku dan sangat berbeda, aku tak suka bau badannya meski ia sering menyemprotkan parfum. Aku tak suka ketika ia menggunakan celana pendek, aku tak suka ketika dia menasihatiku, tapi ia suamiku. Sering aku bercerita di kamar mandi, di sana aku menangis melihat badanku yang ku janjikan untuk kekasih ku. Aku takut pada kehamilan, aku ingin di perutku ada kekasihku bukan suamiku.

            Di kamar mandi aku menggosok sekujur tubuhku dengan sabun, aku menggosok gigiku berulang-ulang. Aku tidak mencintai suamiku. Aku tahu suamiku tahu, ia hanya terdiam melihat sikapku yang selalu diam menunduk. Mungkin ia jenuh melihatku yang serba bingung, aku tak berniat membuatkannya secangkir kopi di pagi hari. Di hadapan tetesan embun aku berkeluh, aku ingin pergi dari suamiku.

            Malam tiba memanggil-manggil namaku. Aku berlari dari kamar tidur, aku berjalan jauh meratapi bintang malam. Aku duduk di sebuah kursi taman, aku teringat kekasih menciumi keningku, aku mencari bisikan-bisikan sayang dari kekasih. Aku berteriak, aku memanggil-manggil nama kekasih. Aku menangis, tak ada kekasih yang romatis, yang selalu merapatkan badannya memelukku. Kekasih yang mengajarkan semua jemariku untuk merangkulnya dalam pejaman mata.

            Kekasihku, aku tak pernah tahu sampai kapan penyesalanku mencarimu. Kekasih, rindukan kamu adalah nafasku. Kekasih...maafkan aku. Ingin ku putar kembali waktu itu, aku tak pernah mengira bahwa materi tak sekuat kasih sayang. Kekasih, oh... kekasih...engkau akan menjadi harta paling berharga yang tak bisa ku miliki. Cinta itu bukan sebuah permainan, gelisahnya hatiku pada pertimbangan masa lalu yang harus ku tanggung kali ini. Cinta tak pernah bisa dihargai dengan apa pun, kasih sayang tak pernah sanggup di bayar dengan materi.

Kekasih, jika esok aku punya anak laki-laki bersama suamiku. Aku ingin ada wajahmu yang terpancar dari matannya. Aku tahu tak mungkin lagi bagiku untuk memiliki kamu. Ijinkanlah anakku kelak memakai namamu, walau suamiku tak pernah tahu arti nama itu. Aku ingin anakku menjadi kamu, ia akan menyayangiku kelak seperti kamu dengan tulus menyayangi aku. Mataku memang tak buta, namun aku berusaha untuk selalu mengosongkan pandanganku ketika berada di pelukan suamiku. Akan lebih indah rasanya bila aku selalu membayangkan hadirnya kekasih dalam hari-hari ku.

Ya, Allah. Aku mesih mengharapkan kelahiran kedua nanti. Jangan pernah kau pisahkan aku darinya. Suamiku adalah kekasihku walau itu bukan kamu. Kisah ini ku rangkai untuk mewakili bahasa-bahasa yang terus mengurai tanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar