CERPEN

Jumat, 11 November 2011

Suamiku, Cintailah Anak Kita

Ketika kegelisahanku muncul dari otak lunakku. Aku mulai gelisah dengan penyesalan-penyesalan yang menggerogoti bagai benalu yang enggan melepaskan diri dan membuatku bahagia. Namaku Angle, saat aku SMA banyak laki-laki yang sering memandangku, mereka bilang aku cantik, lucu, imut dan nyenengin. Sering aku mendapat nomor-nomor pengagum sampai aku tak ingin walau hanya sebentar tidak memoles wajahku dengan bedak, serta parf mahal agar pria-pria mengagumiku. Yah...mungkin semua itu adalah kepuasan batin. Suatu kebanggaan ketika aku menjadi idola. Semua itu adalah kenangan masa silam ketika aku begitu cantik, anggun dan mempesona.

Sekarang aku adalah seorang istri dan yang memiliki satu anak dari hasil pernikahan tak wajar dengan suamiku. Kami menikah lantaran aku hamil duluan. Karena kehamilanku ini, orang tuaku menyesal, putus asa bahkan ibuku tersayang menjadi pendiam sempat pinsan ketika mendengarku sedang hamil. Suamiku sangat tampan, dia luar biasa saat berciuman dan menggodaku. Aku terpesona setiap melihat mata dan harumnya. Hal itulah yang membuatku tak sadarkan diri, akhirnya kami melakukan hubungan terlarang itu. Bulan pertama aku sangat gelisah ketika tidak ada tanda-tanda datang bulan. Aku pun mengatakannya pada Rino suamiku sekarang ini. Wajahnya pusat pasi ketika itu, dia mulai berubah, kata-kata cinta dan romantis memang masih ada namun tak seiklas dulu.

Tiga bulan berlalu, aku mulai gelisah. Aku mengajak Rino memastikan apakah aku hamil atau tidak?. Ia menggengam tanganku, kami berdua bertemu dengan seorang dokter ahli kandungan. Dokter itu tersenyum, ternyata benar bahwa aku sedang mengandung anak Rino. Aku gelisah, begitu juga Rino. Sepulang dari ruangan dokter itu. Kami mulai dengan pertengkaran kecil, ia memintaku menggugurkan kandunganku dengan alasan ia belum siap untuk menikah dengan ku. Otakku, ragaku, nafasku, semuanya menangis walau aku berusaha mengiakan permintaan Rino.

Saat aku di rumah, aku tidak mendengarkan ucapan selamat tidur yang sering ia kirimkan lewat pesan singkat. Ia tidak memberiku ciuman lewat panggilan telpon. Ia juga tidak bilang LOVE YOU seperti yang sering ia lakukan padaku. Aku menangis, air mataku membasahi bantal guling ku. Malam itu aku tak bisa tidur, aku mengakat bajuku hingga perutku tampak mulai berbeda, ku usap-usap, aku merasakan denyutan seorang bayi yang tak berdosa sedang tertidur di dalam perutku. Sesekali aku tersenyum, sesekali aku pun menangis karena Rino memintaku untuk segera mengugurkan kandunganku. Aku cinta anak ku.

Keesokan harinya, Rino membawakanku ramuan. Entah itu rempah-rempah apa, aku pun tak perduli. Ia menggodaku, merayuku hingga dalam tangis aku pun terpaksa meneguk minuman beralkohol dan ramuan yang ia sediakan. Setelah aku meneguk minuman itu, ia mulai tertawa dan mendekatiku dengan pelukan untuk menenangkan kesedihanku.

Malam kembali mengajakku melamun sendiri. Aku menangis, aku mendengar suara bayi sedang berontak di perutku. Dengan penuh rasa bersalah, aku berusaha menetralkan ramuan tersebut dengan meminum empat gelas air putih dan susu bubuk. Aku tak bisa kehilangan anak ku yang tak berdosa karena perbuatan kami yang tak terpuji itu. Bulan pun berganti, perutku tetap saja semakin mengembung. Akhirnya orang tuaku mengetahui kehamilanku. Mereka langsung menemui Rino yang sudah mereka kenal. Akhirnya kami berdua menikah.

Hari berganti, aku pun melahirkan seorang anak laki-laki yang imut dan tanpan. Namun, suamiku tidak semakin berubah. Walau kami tinggal satu rumah, ia tak pernah memberiku kasih sayang seperti saat kami sedang berpacaran. Bahkan untuk mengganti atau menggendong bayi kami saja ia tak mau. Yang membuat hatiku semakin sakit adalah ketika ia mengatakan kalau itu anakku bukan anaknya.  Hampir setiap hari, ia bicara dengan suara yang lantang seolah aku adalah babu di rumah. Aku hanya bisa bersabar demi anakku. Aku tak ingin anakku tidak punya ayah, Aku takut pada perceraian. Apa pun yang suamiku lakukan padaku aku selalu menurutinya.

Suatu hari saat suamiku tidak di rumah, aku menemukan sebuah simcard di saku bajunya. Saat aku aktifkan, betapa terkejutnya aku. Pesan singkat yang amat romatis tertera di dalam pesan singkat itu. Pembicaraan dewasa membuat air mataku mengalir deras di pipi. Tangisan bayiku tak ku hiraukan. Ingin sekali hari itu ku akhiri hidupku yang amat tersiksa. Namun, mendengar tangisan anakku, aku tak cukup kuat untuk melakukannya.

Saat suamiku pulang, aku menyapanya dengan senyuman. Rasa cemburu memberontak dalam hatiku. Akhirnya, aku pun tak sanggup menahan rahasia itu. Aku bertanya padanya, sungguh di luar dugaan. Ia mengakui perempuan itu sebagai kekasih barunya lantas memasuki kamar tidur. Demi anakku, aku rela suamiku bersama perempuan itu.

lima tahun rumah tangga kami tanpa keceriaan. Anakku semakin lucu, anakkulah yang selalu memberikan senyum tawa ketika di rumah. Sebab, Rino jarang sekali berada di rumah. Ia benar-benar tidak meperdulikan kami. Yang lebih parah, ia sering mengajak perempuan itu ke rumah. Dari ruang TV aku melihat lampu kamar di matikan. Aku gelisah, aku mendengar suara-suara dengusan suami ku tercinta. Aku menangis sambil membelai rambut anakku yang tertidur di pangkuanku. Beberapa jam berlalu, suamiku ke luar tanpa menggunakan baju, ia menatapku begitu tajam lantas meninggalkanku ke kamar mandi.

Usia pernikahan kami sudah beranjak delapan tahun, tidak ada yang berubah. Aku tetap melayani suamiku sebagai seorang istri, begitu juga dengan anakku. Pagi hari aku menyiapkan sarapan untuknya, aku menyetrikakan pakaian, semua pekerjaan rumah aku lakukan hanya untuk menghapus kesedihanku. Ketika suamiku berangkat kerja, aku selalu memandang wajahku di cermin. Aku selalu berusaha memoles wajahku agar tetap terlihat cantik untuk suamiku. Entah kenapa, aku mulai tidak puas dengan badanku yang semakin kurus. Aku sudah tak secantik dulu. Tak ada lagi yang menggumiku.

Sering sekali orang tuaku menelponku dan menanyakan kabar kami sekeluarga, namun aku tetap selalu menutupi semua peristiwa yang terjadi. Aku tak mau orang lain tahu kehancuran rumah tangga kami. Suatu hari aku pun merasakan pusing-pusing. Aku sering merasa mual-mual, akhirnya orang tuaku datang untuk menemui kami. Suamiku sangat ramah pada orang tuaku. Rasanya hidup ini telah mempermaikanku sejak perbuatan terlarang itu. Melihatku semakin lemah, orang tuaku berusaha membawaku ke sebuah rumah sakit ternama. Diagnosa dokter, aku mengidap penyakit kanker otak. Rambutku semakin rontok, aku hanya berpasrah diri seraya menggengam tangan anakku yang selalu menemaniku di rumah sakit. Saat orang tuaku tak membesukku, suamiku juga tidak tampak menjagaku di rumah sakit. Di sampingku hanya ada anakku. Dua bulan aku berada di rumah sakit, tidak ada perubahan walau aku sudah di operasi.

Sampai pada suatu malam, aku merasa Tuhan sudah begitu dekat. Nafasku terasa sesak, semakin gelap. Walau mataku sudah tak normal lagi. Aku meminta anakku untuk mengambilkan kertas. Aku meminta semua orang termasuk anakku untuk meninggalkan ku sendiri di kamar pasien.

" Untuk Rino tersayang. Maafkan Angle yang tak pernah bisa membuatmu bahagia. Angle sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik namun tidak pernah berhasil membuatmu bahagia. Satu permintaanku, Rin. Jagalah anak kita. Berikalah kasih sayang mu sebagai seorang ayah walau dia tak pernah kau akui. Terima kasih yah, Rin. Semoga dengan kepergianku, kamu merasa lebih nyaman karena tidak akan ada lagi yang mengajakmu bertengkar"

Tanganku tak sanggup lagi menuliskan banyak kata. Lampu kamar semakin samar ku lihat. Aku mendengar orang-orang berdatangan. Suara anakku memanggil-manggilku. Tanpa terasa air mataku menetes di pipi. Entah aku salah mendengar suara atau tidak. Rino suamiku memelukku begitu erat, ia menangis, ia memohon maaf dan berusaha membangunkanku. Ia mengungkapkan kata-kta cintanya. Semua yang sering ia lakukan di ceritakan padaku. Semua kebaikan yang ia rasakan di ungkapkan. Aku menangis, aku tak bisa melihat wajah tampan suamiku tercinta. Suara itu semakin samar, semakin hilang, semakin gelab, dan aku merasakan semakin dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar