Siang itu, langkahku dibayangi sindiran dan nasihat dari guruku.
wajahnya membuatku gontai berjalan dan menangis. Sepucuk surat yang
pernah ia berikan kemarin kini diserahkan lagi untuk kedua kalinya.
Sampai di depan rumahku langkahku terhenti. kulihat sobekan kertas yang
telah tergenang lumpur. Itu sobekan surat yang sama kemarin. Hatiku yang
lemah mengangkat surat kedua di tangan kiriku.
"pantaskah surat ini ku berikan kepada Ibu?" ungkap hatiku dengan nafas panjang.
Mataku
tertuju pada keringat Ibu yang sedang melayani pembeli. Terbayang
ketika pagi hari Ibu sudah bangun mengikat sayur-sayur untuk di jual di
teras rumahku yang mungil itu. Teringat pada nasihat dan doa Ibu dalam
belaiannya ketika aku tertidur.
"sudah pulang sekolah rupanya" aku terkejut dalam lamunan.
Ternyata
Ibu sudah berada disampingku dan mengajakku duduk di kursi depan warung
sayur kami. Aku hanya menjawab pertanyaan Ibu dengan senyum
sayang. Saat di pelukan Ibu, tercium keringat dan harapan yang tak
sanggup aku balas. Melihat kasih sayang Ibu, Aku menyembunyikan surat
itu dan tidak berani untuk menyampaikannya.
"ei...ada apa?" seolah tahu Aku gelisah Ibu bertanya.
Mengingat surat itu sangat penting akhirnya Aku memberikannya pada Ibu. Sambil membelai rambutku Ibu tertawa
"besok Ibu pasti ke sekolahmu, Nak" ucap ibu, santai.
Dari kerutan wajahnya, tampak kepanikan yang tergambar dari senyumnya.
"sekarang kamu ganti pakaian, bantu Ibu menjaga warung yah..." lanjut ibu sambil membelaiku dengan kasih sayang.
Akupun
bergegas ke kamar dan mengganti pakaianku lantas mengantikan Ibu
melayani pembeli sayur. Rasa sayangku membawaku terbayang pada sosok
Ayah yang sudah tiada. Ibu yang begitu ulet menyekolahkanku walau hanya
dengan menyulab sayur menjadi rupiah penyambung nyawa.
Aku
menangis ketika melihat uang pecahan seribu rupiah di dalam kaleng
biskuit. Akupun bergegas menemui Ibu ke dalam. Langkahku terhenti ketika
melihat Ibu sedang panik. ia menatap seragam sekolahku dan memeluknya
di dalam kamar. ku lihat dari sela pintu beberapa helai uang terbalut di
lipatan baju.
Aku menangis dari sela pintu itu.
"ya Tuhan, matamu melihat deritaku, kembalikanlah Ayah" dalam doa itu aku menangis lantas masuk merangkul Ibuku.
"Bu, sudahlah. Biarkan Dedi berhenti sekolah, Bu" ucapku penuh kasih.
"Jangan, Nak! pasti ada petunjuk untuk membuatmu sekolah. Kamu harus sekolah" Ibu merangkulku.
Air
matanya membasahi rambutku sehingga memaksaku menulis beberapa kata di
dalam hatiku tentang krisis pendidikan yang mengiris pilu pada surat
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar