CERPEN

Jumat, 11 November 2011

Surat untuk Ibu (Cerpen)

Siang itu, langkahku dibayangi sindiran dan nasihat dari guruku. wajahnya membuatku gontai berjalan dan menangis. Sepucuk surat yang pernah ia berikan kemarin kini diserahkan lagi untuk kedua kalinya. Sampai di depan rumahku langkahku terhenti. kulihat sobekan kertas yang telah tergenang lumpur. Itu sobekan surat yang sama kemarin. Hatiku yang lemah mengangkat surat kedua di tangan kiriku.

"pantaskah surat ini ku berikan kepada Ibu?" ungkap hatiku dengan nafas panjang.

 Mataku tertuju pada keringat Ibu yang sedang melayani pembeli. Terbayang ketika pagi hari Ibu sudah bangun mengikat sayur-sayur untuk di jual di teras rumahku yang mungil itu. Teringat pada nasihat dan doa Ibu dalam belaiannya ketika aku tertidur.

"sudah pulang sekolah rupanya" aku terkejut dalam lamunan.

Ternyata Ibu sudah berada disampingku dan mengajakku duduk di kursi depan warung sayur kami. Aku hanya menjawab pertanyaan Ibu dengan senyum sayang. Saat di pelukan Ibu, tercium keringat dan harapan yang tak sanggup aku balas. Melihat kasih sayang Ibu, Aku menyembunyikan surat itu dan tidak berani untuk menyampaikannya.

"ei...ada apa?" seolah tahu Aku gelisah Ibu bertanya.

Mengingat surat itu sangat penting akhirnya Aku memberikannya pada Ibu. Sambil membelai rambutku Ibu tertawa

"besok Ibu pasti ke sekolahmu, Nak" ucap ibu, santai.

Dari kerutan wajahnya, tampak kepanikan yang tergambar dari senyumnya.

"sekarang kamu ganti pakaian, bantu Ibu menjaga warung yah..." lanjut ibu sambil membelaiku dengan kasih sayang. 

Akupun bergegas ke kamar dan mengganti pakaianku lantas mengantikan Ibu melayani pembeli sayur. Rasa sayangku membawaku terbayang pada sosok Ayah yang sudah tiada. Ibu yang begitu ulet menyekolahkanku walau hanya dengan menyulab sayur menjadi rupiah penyambung nyawa.

Aku menangis ketika melihat uang pecahan seribu rupiah di dalam kaleng biskuit. Akupun bergegas menemui Ibu ke dalam. Langkahku terhenti ketika melihat Ibu sedang panik. ia menatap seragam sekolahku dan memeluknya di dalam kamar. ku lihat dari sela pintu beberapa helai uang terbalut di lipatan baju.
Aku menangis dari sela pintu itu.

"ya Tuhan, matamu melihat deritaku, kembalikanlah Ayah" dalam doa itu aku menangis lantas masuk merangkul Ibuku.

"Bu, sudahlah. Biarkan Dedi berhenti sekolah, Bu" ucapku penuh kasih.

"Jangan, Nak! pasti ada petunjuk untuk membuatmu sekolah. Kamu harus sekolah" Ibu merangkulku.

Air matanya membasahi rambutku sehingga  memaksaku menulis beberapa kata di dalam hatiku tentang krisis pendidikan yang mengiris pilu pada surat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar