CERPEN

Kamis, 01 Desember 2011

cerpen “ROBIN KU SAYANG”


“cinta yang bagaimana yang kamu maksud?”  Vero geram
.
“Ow... kamu tidak tau atau pura-pura lupa?”  Robin menjawab kecewa.

“Hm...lihat dulu diri kamu! Baru menilai orang!!!”  Vero melangkahkan kakinya menjauhi Robin.

Robin bergegas mengejar dan menarik pundak Vero. Merasa tidak tengang, Vero berusaha menepis peggangan itu dan mendorong badan Robin. Matanya berkaca-kaca, wajah memerah dengan tiupan nafas yang menggerakan kedua bahu naik-turun. Mata yang menatap garang seakan mengancam Robin  dengan akibat yang selanjutnya akan terjadi.

“Ver! Dengar dulu yang ku maksudkan!!! Harusnya kamu tidak menanggapinya dengan emosi begitulah! Justru kita sama-sama cari permasalahannya! Bukannya marah, diam, trus pergi tanpa kabar!”  Jelas Robin.

“Yah... suka-suka akulah! Itu udah kebiasaan aku, jadi terserah akulah!”  menghindari pandangannya pada Robin.

“tapi ini Cuma masalah kecil,Yank! Kenapa sih kamu egois begitu? Berpikir pakai logika sedikit kenapa?”  emosi Robin meningkat.

“Oya.... emang selama ini kamu pernah dengar atau ngalah? Jangan sok baiklah yah!!!”  sinis.

“He.... jadi maksud kamu selama ini aku nda pernah ngelakukan apapun? Apa kamu nda ingat semua yang ku lakukan buat kamu? Pernah ku nyakitin kamu? Pernah ku jalan ma orang atau ngianatin kamu? Pernah aku ngingkari janji ku sama kamu? .........(menarik nafas)  sudahlah! Dengan membahas ini malah membuat masalah kita semakin besar!”  Robin menenangkan dirinya.

“Kamu selalu begitu! Mana pernah mau ngalah! Ngelawan terus!!!”  berusaha menghindari Robin.

“Yankk!!!! Kalau kamu pergi berarti masalah ini tidak akan selesai! Itu sudah sering terjadi! Aku takut ada apa-apa nanti! Ku tidak bisa berpisah dalam keadaan bertengkar seperti ini. Aku takut ada akibatnya nanti!”  Robi gelisah.

Vero tidak mengindahkan nasihat Robin walau dalam hatinya juga berniat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Vero tetap saja tersus memaksa untuk pergi, menolak tarikan Robin hingga Robin memaksa untuk duduk di atas motor tersebut. Veropun tidak bisa berbuat apa-apa selain berpasrah dan tetap konsisten dengan sikap dinginnya.

“Pokoknya kamu tidak boleh pergi sebelum masalah kita selesai”  kata Robin dengan tegas.

“Terserah kamulah!!!”  Jawab Vero.

“Kenapa sih? Bicaralah kalau ada yang kamu tidak suka!!! Jangan diam terus! Bagaimana bisa menyelesaikan masalah kalau yang dihadapi diam terus!”  jelas Robin.

“YA udah!!! Ku mau pulang!!”  jawab Vero.

“Nda!”

“Aku mau pulang! Ngapa sih nahan-nahan?” 

“Pokoknya nda usah pulang sebelum masalah kita selesai” Robin tetap menahan.

“Terserahlah!!!”

Robin mengarahkan spion motor melihat wahah Vero yang amat kecut. Rasa kesal dan bingung membuat Robin terasa hancur. Robin bukan seorang yang suka marah pada orang lain. Dia tidak pernah memiliki musuh. Apa bila dia merasa ada orang yang tidak menykainya, dia segera meminta maaf kepada orang tersebut walau ia menyadari kalau itu bukan kesalahannya. Kedamaian itu indah, itu motivasi hidup Robin.

“Yank! Ku minta maaf udah marah-marah tadi! Ku sayang banget sama kamu” Robin menggengam tangan Vero.

Vero tetap saja bungkam dan melemahkan tangannya tanpa respon. Vero menjual tampang kusut dan semakin tidak perduli pada semua perkataan Robin. Merasa semakin rumit pertengakaran tersebut. Dengan tarikan nafas panjang Robin turun dari motor itu sambil menatap tajam mata Vero. Dengan sedik senyum ketulusan Robin mempersilahkan Vero untuk pergi walau dalam hatinya begitu sakit.

Tanpa menunggu atau berbicara sedikitpun Vero langsung meninggalkan Robin yang masih berusaha menggapai Vero.  Rasa sesal yang dalam menyelami isi otak Robin malam itu. Perkelahian cinta dalam batinnya semakin ganas. Peperangan antara cinta sejati dan keiklasan membuatnya tak berdaya.  Robin mengeluarkan sebatang rokok dari kantungnya. Walau berusaha, pikirannya tetap terasa begitu berat dan tidak tenang. 

Sekitar lima belas menit lamannya , Akhirnya Robin memberi suara pada motornya.
“Aku cinta kamu! Kenapa kamu tidak pernah mau ngerti? Bukannya pacaran ini kita belajar saling memahami dan melengkapi? Kenapa hanya masalah kecil dan aku merasa itu bukan salahku malah kamu yang marah?”  Motor berjalan santai menikmati malam.

“Apa ku salah meminta kamu memesan nasi goreng di kantin itu? Padahal aku hanya meminta kamu memesannya! Tapi jawaban kamu capek! Padahal posisinya aku benar-benar lapar dan sibuk mengerjakan pekerjaan kampus kamu! Bukannya membantu malah jawaban malas dan sibuk dengan Facebookmu!”  semakin dalam terngiang di kepala Robin.

“Yank! Sampai kapan? Kamu tahukan aku tidak pernah bisa jauh dari kamu? Berilah ku kekuatan untuk mendidik kamu menjadi wanita yang bisa ku cintai dengan tulus hingga nanti! Aku tidak mau hubungan kita berakhir! Ku mau kita belajar bukan bertengkar!” Robin begitu kesal.

Kendaraan semakin melaju kencang. Selipan motornya mewakili perasaan amarahnya yang tak tersalurkan. Robin tidak bisa memarahi Vero karena perasaannya yang begitu tulus.  Semua emosi Robin dilampiaskan pada kendaraan yang semakin lama semakin tidak perduli akan bahaya.

“Ok! Aku tidak akan hadir dalam hidup kamu lagi! Aku nda akan ganggu kamu lagi , Yank! Maafkan aku! Mungkin dengan begini ku bisa jauh dari kamu tanpa pikiran!”  Robin memejamkan matannya.

Motor semakin kencang melaju, sesekali mata Robin terbuka dan mengelak kendaraan yang berada di depannya. Tapi melihat sikap Vero membuatnya kembali terpejam sambil meneteskan air mata. Rasa berdebar dan was-was berusaha pergi dari otak waras Robin.

Kendaraan menjadi macet, suara sirine polisi serta barisan POLANTAS terus mengatur lalu lintas yang semakin padat. Di tengah kepadatan itu tampak seorang pria yaitu Robin. Kepalanya berdarah, wajahnya luka parah dan tulang pahanya tampak memutih di luar kulitnya. Motor yang di kendarai Robin terlempar jauh darinya.  Dari saku jaket Robin terdengar suara panggilan dari Handphonnya. Nada itu adalah nada khusus dengan suara Vero yang terekam. Robin berusaha tersenyum puas sambil mengeluarkan darah. Alunan lagu dari saku jaketnya mengantarkan wajah Vero yang tak akan ia temui lagi. 

“Yank! Terima kasih untuk semua kasih sayang kita! Untuk semua manja yang pernah ada! Mungkin ini lebih pantas agar di antara kita tidak akan ada yang terluka lagi! Aku sayang kamu!”  sambil menciptakan senyum.

Semakin terasa begitu padat, orang-orang mengantar Robin ke Rumah Sakit terdekat. Seorang Polisi mengangkat mengambil HP di saku Robin.
“Hallo selamat malam!” 

“siapa?”

“Maaf saya Briptu Purwanto! Saudara pemilik HP mengalami kecelakaan!” 

“Siapa?”

“Robinsson! Saudari siapa?” 

“Sekarang bagaimana, Pak? Keadaannya gimana? Di mana sekarang? Apa dia baik-baik, Pak?...” Panik Vero.

“Kita bertemu di rumah sakit Yehuda! Kami sedang dalam perjalanan ke sana!”  

Betapa terkejut hati Vero melihat keadaan Robin yang terluka parah dan tidak sadarkan diri. Terbayang dalam hatinya pertengkaran yang baru saja berlangsung.  Vero tampak gelisah, menangis, menyesal dengan semua perbuatan yang dilakukannya. 

“Yank! Kenapa bisa begini?”  dari balik kaca sambil menangis.

Dokter-dokter begitu ramai dengan busana biru muda dan masker. Robin akan di operasi untuk mengeluarkan pendarahan di otaknya serta memasukan tulang pahanya yang tampak dari luar.  Dari ruang tunggu doa-doa Vero tak henti-henti ke luar dari mulutnya. 

Satu minggu berlalu, keadaan Robin masih saja koma. Vero hanya bisa melihat Robin yang terus tertidur tanpa gerakan. Hanya detak jantung dan pompaan nafas yang menggerakan dadannya. Suara mesin penditeksi terdengar menakutkan,  Vero semakin gelisah dan menyentuh tangan Robin yang terbungkus kain pembalut luka.  Dengan sedikit menyentuh, gerakan tangan Robin membangunkan Vero dari tangisannya.  Tampak senyuman mengiasi barisan kata maaf yang terus ke luar dari mulut Vero.

Suara sirine panjang membuka mata Robin yang berair dan tampak begitu sesak. Seakan ingin mengungkapkan cintanya pada Vero. Tiba-tiba badannya melemah, sirine pannjang pertanda bahaya terngiang. Dokter-dokter bedatangan, Vero dipaksa ke luar oleh para perawat. Usaha dokter untuk memulihkan keadaannya terlihat jelas dari mata Vero yang berair.

“Maaf hanya ini yang bisa kami lakukan! Jantungnya begitu lemah! Saudara Robin sadah meninggal!”  dokter berusaha menenangkan Vero.

Vero menatap tajam dan kosong.  Tak ada lagi Robin yang selama ini selalu bersabar menghadapi sikapnya yang selalu menang sendiri. Tidak ada lagi yang mengatakan kata-kata sayang dan melucu di depan Vero. 

“Yank!!!!!” 

Teriak Vero menyambut pelukan pada jasad Robin yang begitu dingin. Vero menangis dan memohon pada jenasah robin.

“yank! Peluklah ku satu kali ini jak yank! Penggang rambutku! Bilang kalau cayank, sayang sama Ve! Jangan tinggalin Ve, Yank! Bangun! Ve, sayang sama cayank! Cium lagi kening, Ve!”  Histeris Ve.
Vero pinsan dalam pelukan tersebut, cinta sejati sudah terlambat untuk diselamatkan. Egois dan amarah kedua pasangang ini terpaksa memisahkan mereka begitu jauh dengan kematian.

3 komentar:

  1. dan begitulah,, seseorang baru sadar akan arti kehadirannya saat ia telah tiada..

    lanjutkan!!

    BalasHapus
  2. entah kenapa saya bisa menebak akhir cerita ini saat baca di tengah2, salam..

    BalasHapus
  3. @ TheShinse... Haha... itu maksudku... sebenarnya...


    @ Budayau : YAh,... berarti saya harus menyembunyikan lebih gesit... haha padahal saya sudah berusaha membawa suasana pembaca bahwa si Robin itu akan hidup...... ternyata tetap aja ketebak...kwkwk//

    BalasHapus