“cinta
yang bagaimana yang kamu maksud?” Vero geram
.
“Ow...
kamu tidak tau atau pura-pura lupa?” Robin menjawab kecewa.
“Hm...lihat
dulu diri kamu! Baru menilai orang!!!” Vero melangkahkan kakinya menjauhi Robin.
Robin
bergegas mengejar dan menarik pundak Vero. Merasa tidak tengang, Vero berusaha
menepis peggangan itu dan mendorong badan Robin. Matanya berkaca-kaca, wajah
memerah dengan tiupan nafas yang menggerakan kedua bahu naik-turun. Mata yang
menatap garang seakan mengancam Robin
dengan akibat yang selanjutnya akan terjadi.
“Ver! Dengar dulu yang ku
maksudkan!!! Harusnya kamu tidak menanggapinya dengan emosi begitulah! Justru
kita sama-sama cari permasalahannya! Bukannya marah, diam, trus pergi tanpa
kabar!” Jelas Robin.
“Yah... suka-suka akulah! Itu udah
kebiasaan aku, jadi terserah akulah!” menghindari pandangannya pada Robin.
“tapi ini Cuma masalah kecil,Yank! Kenapa
sih kamu egois begitu? Berpikir pakai logika sedikit kenapa?” emosi Robin meningkat.
“Oya.... emang selama ini kamu
pernah dengar atau ngalah? Jangan sok baiklah yah!!!” sinis.
“He.... jadi maksud kamu selama ini
aku nda pernah ngelakukan apapun? Apa kamu nda ingat semua yang ku lakukan buat
kamu? Pernah ku nyakitin kamu? Pernah ku jalan ma orang atau ngianatin kamu? Pernah
aku ngingkari janji ku sama kamu? .........(menarik nafas) sudahlah! Dengan membahas ini malah membuat
masalah kita semakin besar!” Robin menenangkan dirinya.
“Kamu selalu begitu! Mana pernah
mau ngalah! Ngelawan terus!!!” berusaha menghindari Robin.
“Yankk!!!! Kalau kamu pergi berarti
masalah ini tidak akan selesai! Itu sudah sering terjadi! Aku takut ada apa-apa
nanti! Ku tidak bisa berpisah dalam keadaan bertengkar seperti ini. Aku takut
ada akibatnya nanti!” Robi gelisah.
Vero
tidak mengindahkan nasihat Robin walau dalam hatinya juga berniat untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Vero tetap saja tersus memaksa untuk pergi,
menolak tarikan Robin hingga Robin memaksa untuk duduk di atas motor tersebut.
Veropun tidak bisa berbuat apa-apa selain berpasrah dan tetap konsisten dengan
sikap dinginnya.
“Pokoknya kamu tidak boleh pergi
sebelum masalah kita selesai” kata Robin dengan tegas.
“Terserah kamulah!!!” Jawab Vero.
“Kenapa sih? Bicaralah kalau ada
yang kamu tidak suka!!! Jangan diam terus! Bagaimana bisa menyelesaikan masalah
kalau yang dihadapi diam terus!” jelas Robin.
“YA udah!!! Ku mau pulang!!” jawab Vero.
“Nda!”
“Aku mau pulang! Ngapa sih
nahan-nahan?”
“Pokoknya nda usah pulang sebelum
masalah kita selesai” Robin tetap menahan.
“Terserahlah!!!”
Robin
mengarahkan spion motor melihat wahah Vero yang amat kecut. Rasa kesal dan
bingung membuat Robin terasa hancur. Robin bukan seorang yang suka marah pada
orang lain. Dia tidak pernah memiliki musuh. Apa bila dia merasa ada orang yang tidak menykainya, dia
segera meminta maaf kepada orang tersebut walau ia menyadari kalau itu bukan
kesalahannya. Kedamaian itu indah, itu motivasi hidup Robin.
“Yank! Ku minta maaf udah
marah-marah tadi! Ku sayang banget sama kamu” Robin
menggengam tangan Vero.
Vero
tetap saja bungkam dan melemahkan tangannya tanpa respon. Vero menjual tampang
kusut dan semakin tidak perduli pada semua perkataan Robin. Merasa semakin
rumit pertengakaran tersebut. Dengan tarikan nafas panjang Robin turun dari
motor itu sambil menatap tajam mata Vero. Dengan sedik senyum ketulusan Robin
mempersilahkan Vero untuk pergi walau dalam hatinya begitu sakit.
Tanpa
menunggu atau berbicara sedikitpun Vero langsung meninggalkan Robin yang masih
berusaha menggapai Vero. Rasa sesal yang
dalam menyelami isi otak Robin malam itu. Perkelahian cinta dalam batinnya
semakin ganas. Peperangan antara cinta sejati dan keiklasan membuatnya tak
berdaya. Robin mengeluarkan sebatang
rokok dari kantungnya. Walau berusaha, pikirannya tetap terasa begitu berat dan
tidak tenang.
Sekitar
lima belas menit lamannya , Akhirnya Robin memberi suara pada motornya.
“Aku cinta kamu! Kenapa kamu tidak
pernah mau ngerti? Bukannya pacaran ini kita belajar saling memahami dan
melengkapi? Kenapa hanya masalah kecil dan aku merasa itu bukan salahku malah
kamu yang marah?” Motor berjalan santai menikmati malam.
“Apa ku salah meminta kamu memesan
nasi goreng di kantin itu? Padahal aku hanya meminta kamu memesannya! Tapi jawaban
kamu capek! Padahal posisinya aku benar-benar lapar dan sibuk mengerjakan
pekerjaan kampus kamu! Bukannya membantu malah jawaban malas dan sibuk dengan
Facebookmu!” semakin dalam terngiang di kepala Robin.
“Yank! Sampai kapan? Kamu tahukan
aku tidak pernah bisa jauh dari kamu? Berilah ku kekuatan untuk mendidik kamu
menjadi wanita yang bisa ku cintai dengan tulus hingga nanti! Aku tidak mau hubungan
kita berakhir! Ku mau kita belajar bukan bertengkar!” Robin
begitu kesal.
Kendaraan
semakin melaju kencang. Selipan motornya mewakili perasaan amarahnya yang tak
tersalurkan. Robin tidak bisa memarahi Vero karena perasaannya yang begitu
tulus. Semua emosi Robin dilampiaskan
pada kendaraan yang semakin lama semakin tidak perduli akan bahaya.
“Ok! Aku tidak akan hadir dalam
hidup kamu lagi! Aku nda akan ganggu kamu lagi , Yank! Maafkan aku! Mungkin
dengan begini ku bisa jauh dari kamu tanpa pikiran!” Robin memejamkan matannya.
Motor
semakin kencang melaju, sesekali mata Robin terbuka dan mengelak kendaraan yang
berada di depannya. Tapi melihat sikap Vero membuatnya kembali terpejam sambil
meneteskan air mata. Rasa berdebar dan was-was berusaha pergi dari otak waras
Robin.
Kendaraan
menjadi macet, suara sirine polisi serta barisan POLANTAS terus mengatur lalu
lintas yang semakin padat. Di tengah kepadatan itu tampak seorang pria yaitu
Robin. Kepalanya berdarah, wajahnya luka parah dan tulang pahanya tampak
memutih di luar kulitnya. Motor yang di kendarai Robin terlempar jauh
darinya. Dari saku jaket Robin terdengar
suara panggilan dari Handphonnya. Nada itu adalah nada khusus dengan suara Vero
yang terekam. Robin berusaha tersenyum puas sambil mengeluarkan darah. Alunan
lagu dari saku jaketnya mengantarkan wajah Vero yang tak akan ia temui lagi.
“Yank! Terima kasih untuk semua
kasih sayang kita! Untuk semua manja yang pernah ada! Mungkin ini lebih pantas
agar di antara kita tidak akan ada yang terluka lagi! Aku sayang kamu!” sambil menciptakan senyum.
Semakin
terasa begitu padat, orang-orang mengantar Robin ke Rumah Sakit terdekat.
Seorang Polisi mengangkat mengambil HP di saku Robin.
“Hallo selamat malam!”
“siapa?”
“Maaf saya Briptu Purwanto! Saudara
pemilik HP mengalami kecelakaan!”
“Siapa?”
“Robinsson! Saudari siapa?”
“Sekarang bagaimana, Pak? Keadaannya
gimana? Di mana sekarang? Apa dia baik-baik, Pak?...” Panik
Vero.
“Kita bertemu di rumah sakit
Yehuda! Kami sedang dalam perjalanan ke sana!”
Betapa
terkejut hati Vero melihat keadaan Robin yang terluka parah dan tidak sadarkan
diri. Terbayang dalam hatinya pertengkaran yang baru saja berlangsung. Vero tampak gelisah, menangis, menyesal
dengan semua perbuatan yang dilakukannya.
“Yank! Kenapa bisa begini?” dari balik kaca sambil menangis.
Dokter-dokter
begitu ramai dengan busana biru muda dan masker. Robin akan di operasi untuk
mengeluarkan pendarahan di otaknya serta memasukan tulang pahanya yang tampak
dari luar. Dari ruang tunggu doa-doa
Vero tak henti-henti ke luar dari mulutnya.
Satu
minggu berlalu, keadaan Robin masih saja koma. Vero hanya bisa melihat Robin
yang terus tertidur tanpa gerakan. Hanya detak jantung dan pompaan nafas yang
menggerakan dadannya. Suara mesin penditeksi terdengar menakutkan, Vero semakin gelisah dan menyentuh tangan
Robin yang terbungkus kain pembalut luka.
Dengan sedikit menyentuh, gerakan tangan Robin membangunkan Vero dari
tangisannya. Tampak senyuman mengiasi
barisan kata maaf yang terus ke luar dari mulut Vero.
Suara
sirine panjang membuka mata Robin yang berair dan tampak begitu sesak. Seakan
ingin mengungkapkan cintanya pada Vero. Tiba-tiba badannya melemah, sirine
pannjang pertanda bahaya terngiang. Dokter-dokter bedatangan, Vero dipaksa ke
luar oleh para perawat. Usaha dokter untuk memulihkan keadaannya terlihat jelas
dari mata Vero yang berair.
“Maaf hanya ini yang bisa kami
lakukan! Jantungnya begitu lemah! Saudara Robin sadah meninggal!” dokter berusaha menenangkan Vero.
Vero
menatap tajam dan kosong. Tak ada lagi
Robin yang selama ini selalu bersabar menghadapi sikapnya yang selalu menang
sendiri. Tidak ada lagi yang mengatakan kata-kata sayang dan melucu di depan
Vero.
“Yank!!!!!”
Teriak
Vero menyambut pelukan pada jasad Robin yang begitu dingin. Vero menangis dan
memohon pada jenasah robin.
“yank! Peluklah ku satu kali ini
jak yank! Penggang rambutku! Bilang kalau cayank, sayang sama Ve! Jangan
tinggalin Ve, Yank! Bangun! Ve, sayang sama cayank! Cium lagi kening, Ve!” Histeris Ve.
Vero
pinsan dalam pelukan tersebut, cinta sejati sudah terlambat untuk diselamatkan.
Egois dan amarah kedua pasangang ini terpaksa memisahkan mereka begitu jauh
dengan kematian.
dan begitulah,, seseorang baru sadar akan arti kehadirannya saat ia telah tiada..
BalasHapuslanjutkan!!
entah kenapa saya bisa menebak akhir cerita ini saat baca di tengah2, salam..
BalasHapus@ TheShinse... Haha... itu maksudku... sebenarnya...
BalasHapus@ Budayau : YAh,... berarti saya harus menyembunyikan lebih gesit... haha padahal saya sudah berusaha membawa suasana pembaca bahwa si Robin itu akan hidup...... ternyata tetap aja ketebak...kwkwk//