CERPEN

Sabtu, 10 Desember 2011

Cinta yang Tersisih (Cicak dan Kodok)


Gerhana malam ini mengirim kisah itu kembali dalam sanubariku. Ku buka kembali lembaran biru yang berusah kulupakan. Ku ceritakan pada gerhana sebab aku tak pernah mendapat jawaban dari bintang-bintang, dinding kamar, bahkan mengatur mimpi ku seindah mungkin bersamanya. Tapi entah kenapa semua seperti noda yang tak bisa ku hapus dari hatiku. Kapas putih yang dulu begitu suci dan terjaga, kini musnah oleh api yang sulit ku padamkan.

“Kalau bukan karena Dora itu! Tidak mungkin Pak Rian meninggalkan kita begini” 

“Betul! Murah benar! Rela tidur dengan Pak Rian! Ha…..”

Pembicaraan  itu ku dengar beberapa hari setelah Rian berhenti menjadi asisten opsevasi di perkebunan kelapa sawit tempatku bekerja. Rian adalah orang yang baik dan ramah pada semua orang. Hal itulah yang membuat semua karyawan sangat kehilangan dia.  Tapi kenapa aku yang harus dihakimi oleh keadaan? Sesungguhnya mereka bukan Tuhan yang serba tahu dan bisa memutuskan permasalah yang sebenarnya. Mereka melupakan bahasa pembelaan dalam hatiku yang sangat membara dan ingin di teriakan ke kuping-kuping mereka yang menuli.

“Tuhan!”

Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya. Rasanya sekujur tubuhku berontak dan enggan menampakan wajaku di hadapan mereka. Ku banting semua barang-barang, ku basahi bantalku dengan air mata, ku tanyakan pada gambarnya yang membisu dalam senyum dan aku kembali melihat gerhana yang semakin musnah dan melahirkan bulan yang benderang. 

Urat sarafku membelit kerinduanku dan usaha yang sebenarnya telah ku anggap sampah di hatiku. Akhirnya aku mencoba menghubungi Rian lagi. Namun, aku hanya bisa menunggu anugrah dan belas kasihannya  untuk mengakat dan berbicara manis bahkan mengajakku bercanda seperti dulu. Hampir ratusan kali aku menghubungi, tak ada satupun mujisat yang menghapus keretakan hati ku.

“Rian! Kenapa malam ini kamu ajari aku mengenalmu yang munafik?”

Aku terarut dalam kesunyian malam. Tetes air mata merayap di pipi ku mengingat saat pertama aku dan Rian berkenalan. Saat itu begitu banyak pria yang mendekatiku dengan tulus, namun kehadiran Rian membuat semuanya berbeda. Berada di pelukannya membuatku sangat nyaman dan terlindungi walau sahabatku sering menertawakan ku. Rian memang tidak tampan, namun wibawa dan tutur bahasanya yang baik membuatku sangat mencintainya. 

“Kenapa kamu mau sama Rian, Dor?”

“Aku tidak pernah pelihat dari fisiknya! Aku mencintainya dan dia selalu membuatku nyaman!” bela ku atas tanggapan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar