Gerhana malam ini mengirim kisah
itu kembali dalam sanubariku. Ku buka kembali lembaran biru yang berusah
kulupakan. Ku ceritakan pada gerhana sebab aku tak pernah mendapat jawaban dari
bintang-bintang, dinding kamar, bahkan mengatur mimpi ku seindah mungkin
bersamanya. Tapi entah kenapa semua seperti noda yang tak bisa ku hapus dari
hatiku. Kapas putih yang dulu begitu suci dan terjaga, kini musnah oleh api
yang sulit ku padamkan.
“Kalau bukan karena Dora itu! Tidak mungkin Pak Rian meninggalkan kita
begini”
“Betul! Murah benar! Rela tidur dengan Pak Rian! Ha…..”
Pembicaraan itu ku dengar beberapa hari setelah Rian
berhenti menjadi asisten opsevasi di perkebunan kelapa sawit tempatku bekerja.
Rian adalah orang yang baik dan ramah pada semua orang. Hal itulah yang membuat
semua karyawan sangat kehilangan dia. Tapi
kenapa aku yang harus dihakimi oleh keadaan? Sesungguhnya mereka bukan Tuhan
yang serba tahu dan bisa memutuskan permasalah yang sebenarnya. Mereka
melupakan bahasa pembelaan dalam hatiku yang sangat membara dan ingin di
teriakan ke kuping-kuping mereka yang menuli.
“Tuhan!”
Aku menangis lagi untuk kesekian
kalinya. Rasanya sekujur tubuhku berontak dan enggan menampakan wajaku di
hadapan mereka. Ku banting semua barang-barang, ku basahi bantalku dengan air
mata, ku tanyakan pada gambarnya yang membisu dalam senyum dan aku kembali
melihat gerhana yang semakin musnah dan melahirkan bulan yang benderang.
Urat sarafku membelit kerinduanku
dan usaha yang sebenarnya telah ku anggap sampah di hatiku. Akhirnya aku
mencoba menghubungi Rian lagi. Namun, aku hanya bisa menunggu anugrah dan belas
kasihannya untuk mengakat dan berbicara
manis bahkan mengajakku bercanda seperti dulu. Hampir ratusan kali aku
menghubungi, tak ada satupun mujisat yang menghapus keretakan hati ku.
“Rian! Kenapa malam ini kamu ajari aku mengenalmu yang munafik?”
Aku terarut dalam kesunyian
malam. Tetes air mata merayap di pipi ku mengingat saat pertama aku dan Rian
berkenalan. Saat itu begitu banyak pria yang mendekatiku dengan tulus, namun
kehadiran Rian membuat semuanya berbeda. Berada di pelukannya membuatku sangat
nyaman dan terlindungi walau sahabatku sering menertawakan ku. Rian memang
tidak tampan, namun wibawa dan tutur bahasanya yang baik membuatku sangat
mencintainya.
“Kenapa kamu mau sama Rian, Dor?”
“Aku tidak pernah pelihat dari fisiknya! Aku mencintainya dan dia
selalu membuatku nyaman!” bela ku atas tanggapan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar