CERPEN

Kamis, 08 Desember 2011

Rembulan dan Matahariku


Cobalah kau lihat di genangan itu. Di sana ada bulan purnama yang bersinar indah.  Senyuman ku teringat pada sesuatu tentangmu. Pesan yang terucap dari cahaya itu adalah tentang perasaan kita yang sedang sulit dibicarakan di warung-warung, di kedai-kedai, bahkan di kamar tiga per empat itu.

Kamu tahu? Bulan sudah begitu banya tahu tentang kita, dari kejauhan dia selalu mengintai  moment-moment penting dikala kita saling berpelukan. Saling berbagi kecupan, saling membicarakan tentang kasih sayang yang teramat dalam. Dia memang sudah tahu tentang itu kan? 

Malam ini, genangan tentang cahaya bulan itu mulai berpindah ke satu sisi. Aku juga bergerak ke satu sisi di mana posisi bulan kembali utuh menerangakan tentang hadirmu yang luar biasa. Aku terus mengingat saat-saat itu. Ketika kita membincangkan tentang masa depan kita yang masih jauh dari pelupuk mata. Tentang boneka mini yang kita susun sedemikian rupa untuk menggambarkan romantisnya hidup dengan dirimu.  

Rembulan tetap saja tak bergeming, Aku menggeram sekali ketika itu, Ku sentuh saja dengan telunjukku agar bulan bisa marah karena parasnya menjadi moncong tak berbentuk. Sekilas aku tertawa, tidak ada lagi rembulan yang selalu merekam kejadian-kejadian tentang kita. Aku muak melihat bulan yang sok tahu itu. Dia merasa dirinya paling indah karena berada di antara gugusan bintang. Semua orang memandang ke arahnya karena ia memang gagah dari mata mereka.

Wajahku menyimpan sejuta kemarahan padannya, ku keringkan semua genangan air itu. Ku timba dengan kedua tanganku hingga keringat disekujur tubuhku turut menetes membasahi bumi yang terlihat becek. Aku mengeram lagi, kenapa aku berkeringat dan merasa lelah untuk menghapus cahaya yang datang it? Aku kurang melihat ada cahaya yang lebih tinggi darimu untukku, lebih dari cahaya bintang yang tak pernah kau hiraukan. Ya... cahayamu adalah cahaya matahari, kau lah yang memberi sinar pada bulan sehingga dia tampak seperti permata di dalam retina.

Harusnya dari tadi aku menggoyangkan kedua kakiku, mengisap sebatang kretek untuk bersantai ria menikmati indahnya matahari. Indahnya yang menghangatkan rasa dingin di badanku dengan pelukan. Dengan kecupan hangat yang mengirimkan aroma khas dari nafasmu. Pembicaraan yang tersirat dari sorot mata kita yang indah itu. Wah... semua tentangmu lebih indah dari purnama itu.

Rasa tentang membuat langkahku berbalik. Aku pergi sambil menari-nari meniupkan harmonika kesayanganku. Ku lantunkan lagi kasih sayang, lagu tentang cita-cita kita ketika kita berbagi. Ketika pertengakaran tak lagi menjadi indah saat bersama. Ketika semua perubahan telah didasari kata cinta sejati atau harapan untuk merakit cincin dari pasak bumi untuk menghiasi jemarimu. Atau menyediakan parfum termahal untuk menikmati malam pertama kita.

Sebaiknya aku tidak memikirkan tentang bulan lagi. Matahari lebih hebat, perhatiannya lebih tinggi dari bulan. Ketika matahari terbit, dia menemaniku menjemur badanku yang lelah tertidur, ketika ia meninggi, ia mengirimiku pesan tentang perjalanan yang indah. Saat ia terbenam, hampir semua orang mengaguminya dan duduk berbaris di tepi pantai sambil berbicara tetang kemolekannya.

Hay matahariku, matahari yang menjelma menjadi gadis yang bertelanjang dada. Izinkan aku menghirup sedikit sari yang melingkupi pori-porimu. Mengungkapkan cintaku melalui sentuhan dari ujung pinggang hingga bahumu. Menjalarkan hidungku mengikuti lekukan hidungmu. Menikmati indah bola matamu yang sayum menikmati persembahanku. Temanilah aku, sampai titik jenuh menyembunyikan ku dari cahayamu di liang lahat. Kalimat prosa adalah wakil dari rasa yang tersimpan. Rasa yang akan mengirimimu sugesti tentang kita-dan-kita. Tentang kamu dan romantis kita. Cerita tentang tidur malam ini bersamamu sampai ku terbangun kembali bersama cahayamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar