Jika ada yang bertanya “kenapa
aku masih tetap berdiri di sini?”
.Aku akan menjawab, “karena hujan belum berhenti untuk mengintaiku dengan siramannya. “
Jika ada yang bertanya padaku, “kenapa kamu masih duduk di situ?”
Aku akan menjawab dengan hatiku, “karena aku masih penasaran kenapa bumi
mengembalikan hujan yang turun dengan pantulan yang indah”
Dalam hatiku mengalir jiwa seni, “aku sebenarnya merasakan begitu dingin
hujan yang memcakar
wahahku! Tapi di dalam kelabunya hari aku tetap tentang dan
merasa bahwa hari ini adalah hari yang panas! Suhunya juga ku anggap sebagai
ketenangan yang ku sembunyikan”
Hujan semakin deras,
aku penasaran pada genangan air yang menari-nari seakan sedang terbebas dari
ketakutan. Awalnya ia amat takut ketika langit menghujamkannya ke bumi. Namun,
ketika ia sampai di bumi. Mereka seakan melantunkan musik-musik dan terompet
tahun baru seperti manusia-manusia. Ada di antara mereka yang menerpa genteng,
seng, kaleng, tanah, dan gedung-gedung. Keributan itu pertanda kebahagiaan bagi
mereka.
Sambil
mengoyang-goyangkan tanganku di atas kubangan, aku melihat mereka berebut
menyetuh tanganku yang penuh dengan kotoran. Mereka membersihkannya, “mungkin
ini adalah pekerjaan mereka!”bisik hatiku.
Hujan semakin deras,
senyumku semakin terbawa ketika melihat cahaya matahari yang mereka tutupi. Dalam
hatiku girang bicara, sebentar lagi genangan air ini akan semakin dalam. Aku
pun bergegas menuju kamarku dan mengambil beberapa helai kertas putih. Ku lipat
menjadi perahu-perahu kertas yang berwarna-warni. Ku letakkan di atas kubangan
air itu, mereka terus membuat perahu itu terombang-ambing gelisah. Aku tertawa,
aku melihat diriku sebagai nakoda dalam perahu itu.
Lima menit aku terus
memandang perahu kertas itu, tak ada satupun ombak yang mampu menerjangnya
hingga tenggelam. Dengan penuh rasa penasaran, aku membuat arus menjadi lebih
kencang. Perahu itu terpukul hingga pinggirnya menelan air dan menenggelamkan
kertas itu. Aku puas, itulah aku. Jika nanti aku akan tenggelam dalam
kepuasan-kepuasan orang lain pasti akan menjadi kebanggaan bagi mereka. Tak ada
yang mau perduli tentang bangkai kapal itu.
Aku pun meniggalkanya
perlahan sambil menoleh bangkai kapal yang tampak sedang menangis. Air
mataku pun turut menyempurnakan senyuman kekesalan itu. Ketika ku tiba di pintu
kamarku, gerak badanku begitu prihatin. Aku pun berlari dan mendekati kapal
itu, ku ambil dengan kedua tanganku. Di sana masih ku baca ada namaku dan
namanya walau sudah hampir terhapus waktu yang penuh tantangan.
Ku tiup dengan kipas
angin sambil menopang kedua tanganku di pipi. Tiupan angin itu ternyata mengoyak nama yang
tersimpan dalam perahu itu. Namaku di pisahkan dari namanya, aku gelisah. Akal
sehatku mencari setrika dengan harapan kertas itu akan mengering oleh panasnya.
Ku simpan perahu itu di atas meja yang dilapisi dengan kain sutra berwarna
putih. Kilasan kipas membakar air menjadi uap yang panas dari kemarahannya.
Perahu itu berteriak menahan siksaan itu.
Setelah tampak
mengering, aku terkejut melihat perahu itu. Warna merah yang menghiasi namaku
dan namanya berubah menjadi merah muda. Warnanya telah memudar menampakan wajah
sedih penuh beban. Hatiku dipenuhi penyesalan yang dalam, ku coba menarik
bagian-bagian kertas itu agar kembali menjadi sebuah perahu kertas. Namun, hal
itu tak pernah terjadi. Unsur-usur itu telah berpelukan ketika kipas
menindihnya kesakitan. Namaku dan namanya telah berpelukan dan rela mematikan
dirinya demi kepuasan orang lain.
Sambil menyandarkan
badanku di kursi belajarku. Ku balut perahu itu dengan kasih sayang, ku ambil
lagi spidol warnaku. Aku coba menerangi namaku dan namanya sehingga tampak
indah. Dua jam memandang dengan cinta, ku ucap permintaan maafku pada perahu yang
sedang menangis itu. Aku melihatnya tersenyum dalam warna yang kembali cerah.
Aku pun duduk di atas tempat tidur sambil menatap kosong.
Suara degup kaki
terdengar girang mendekatiku. Ia mengambil perahu kertas itu dan membawanya
lari. Ku kejar namun aku takut si kecil itu kembali merusak modelnya atau
merobek-robek namaku dan namanya. Aku terkejut, perahu itu terlempar lagi ke
luar jendela. Arus got menghanyutkannya begitu deras. Lompatanku terus
mengejarnya, tak ku hiraukan hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Air mataku
mengalir bersama air hujan, bibirku bergetar, mataku yang memerah terus mencari
dan mengejar arah arus yang melarikan namaku dan namamu.
Badanku basah kuyup.
Perahu itu terbawa arus hingga ke air sungan yang besar. Aku hanya bisa berdiri
di atas jembatan dan melihatnya mengambang dengan lambaian kesedihan. Aku
berteriak kencang dalam hatiku.
“Kembalilah!
Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakanmu!”
Ia tak mendengarku
lagi. Ia semakin kecil dan tenggelam dalam jarak yang semakin tega meneteskan
air mataku.
Matahari petangpun
terpancar dari arah depan. Ku rasakan hujan tak menyapaku lagi. Tatapan ku yang
kosong tak lagi berair, aku pulang dengan penuh sesal. Aku berjanji pada dunia,
akan ku buat perahu-perahu yang lebih banyak lagi untuk namaku dan namanya.
Sebab, satu perahu tak akan sanggup memperkuat cintaku padamu.a
indah, pemilihan diksanya mengena.. :)
BalasHapusterima kasih sudah membaca karya ini,,,,,
BalasHapus