CERPEN

Minggu, 04 Desember 2011

PERAHU KERTAS


Jika ada yang bertanya  “kenapa aku masih tetap berdiri di sini?”

.Aku akan menjawab, “karena hujan belum berhenti untuk mengintaiku dengan siramannya. “

Jika ada yang bertanya padaku, “kenapa kamu masih duduk di situ?”

Aku akan menjawab dengan hatiku, “karena aku masih penasaran kenapa bumi mengembalikan hujan yang turun dengan pantulan yang indah”

Dalam hatiku mengalir jiwa seni, “aku sebenarnya merasakan begitu dingin hujan yang memcakar 
wahahku! Tapi di dalam kelabunya hari aku tetap tentang dan merasa bahwa hari ini adalah hari yang panas! Suhunya juga ku anggap sebagai ketenangan yang ku sembunyikan”

Hujan semakin deras, aku penasaran pada genangan air yang menari-nari seakan sedang terbebas dari ketakutan. Awalnya ia amat takut ketika langit menghujamkannya ke bumi. Namun, ketika ia sampai di bumi. Mereka seakan melantunkan musik-musik dan terompet tahun baru seperti manusia-manusia. Ada di antara mereka yang menerpa genteng, seng, kaleng, tanah, dan gedung-gedung. Keributan itu pertanda kebahagiaan bagi mereka.

Sambil mengoyang-goyangkan tanganku di atas kubangan, aku melihat mereka berebut menyetuh tanganku yang penuh dengan kotoran. Mereka membersihkannya,  “mungkin ini adalah pekerjaan mereka!”bisik hatiku.

Hujan semakin deras, senyumku semakin terbawa ketika melihat cahaya matahari yang mereka tutupi. Dalam hatiku girang bicara, sebentar lagi genangan air ini akan semakin dalam. Aku pun bergegas menuju kamarku dan mengambil beberapa helai kertas putih. Ku lipat menjadi perahu-perahu kertas yang berwarna-warni. Ku letakkan di atas kubangan air itu, mereka terus membuat perahu itu terombang-ambing gelisah. Aku tertawa, aku melihat diriku sebagai nakoda dalam perahu itu. 

Lima menit aku terus memandang perahu kertas itu, tak ada satupun ombak yang mampu menerjangnya hingga tenggelam. Dengan penuh rasa penasaran, aku membuat arus menjadi lebih kencang. Perahu itu terpukul hingga pinggirnya menelan air dan menenggelamkan kertas itu. Aku puas, itulah aku. Jika nanti aku akan tenggelam dalam kepuasan-kepuasan orang lain pasti akan menjadi kebanggaan bagi mereka. Tak ada yang mau perduli tentang bangkai kapal itu.

Aku pun meniggalkanya perlahan sambil menoleh bangkai kapal yang tampak sedang menangis. Air mataku pun turut menyempurnakan senyuman kekesalan itu. Ketika ku tiba di pintu kamarku, gerak badanku begitu prihatin. Aku pun berlari dan mendekati kapal itu, ku ambil dengan kedua tanganku. Di sana masih ku baca ada namaku dan namanya walau sudah hampir terhapus waktu yang penuh tantangan.

Ku tiup dengan kipas angin sambil menopang kedua tanganku di pipi. Tiupan  angin itu ternyata mengoyak nama yang tersimpan dalam perahu itu. Namaku di pisahkan dari namanya, aku gelisah. Akal sehatku mencari setrika dengan harapan kertas itu akan mengering oleh panasnya. Ku simpan perahu itu di atas meja yang dilapisi dengan kain sutra berwarna putih. Kilasan kipas membakar air menjadi uap yang panas dari kemarahannya. Perahu itu berteriak menahan siksaan itu. 

Setelah tampak mengering, aku terkejut melihat perahu itu. Warna merah yang menghiasi namaku dan namanya berubah menjadi merah muda. Warnanya telah memudar menampakan wajah sedih penuh beban. Hatiku dipenuhi penyesalan yang dalam, ku coba menarik bagian-bagian kertas itu agar kembali menjadi sebuah perahu kertas. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Unsur-usur itu telah berpelukan ketika kipas menindihnya kesakitan. Namaku dan namanya telah berpelukan dan rela mematikan dirinya demi kepuasan orang lain.

Sambil menyandarkan badanku di kursi belajarku. Ku balut perahu itu dengan kasih sayang, ku ambil lagi spidol warnaku. Aku coba menerangi namaku dan namanya sehingga tampak indah. Dua jam memandang dengan cinta, ku ucap permintaan maafku pada perahu yang sedang menangis itu. Aku melihatnya tersenyum dalam warna yang kembali cerah. Aku pun duduk di atas tempat tidur sambil menatap kosong. 

Suara degup kaki terdengar girang mendekatiku. Ia mengambil perahu kertas itu dan membawanya lari. Ku kejar namun aku takut si kecil itu kembali merusak modelnya atau merobek-robek namaku dan namanya. Aku terkejut, perahu itu terlempar lagi ke luar jendela. Arus got menghanyutkannya begitu deras. Lompatanku terus mengejarnya, tak ku hiraukan hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Air mataku mengalir bersama air hujan, bibirku bergetar, mataku yang memerah terus mencari dan mengejar arah arus yang melarikan namaku dan namamu.

Badanku basah kuyup. Perahu itu terbawa arus hingga ke air sungan yang besar. Aku hanya bisa berdiri di atas jembatan dan melihatnya mengambang dengan lambaian kesedihan. Aku berteriak kencang dalam hatiku. 

“Kembalilah! Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakanmu!”

Ia tak mendengarku lagi. Ia semakin kecil dan tenggelam dalam jarak yang semakin tega meneteskan air mataku. 

Matahari petangpun terpancar dari arah depan. Ku rasakan hujan tak menyapaku lagi. Tatapan ku yang kosong tak lagi berair, aku pulang dengan penuh sesal. Aku berjanji pada dunia, akan ku buat perahu-perahu yang lebih banyak lagi untuk namaku dan namanya. Sebab, satu perahu tak akan sanggup memperkuat cintaku padamu.a

2 komentar: